Selain Letjen Yunus Yosfiah, Ini 2 Tokoh di Balik Penghentian Penayangan Film G30S, Siapa Mereka?
Sepanjang Orde Baru berkuasa, film ini wajib diputar oleh semua stasiun televisi setiap tanggal 30 September.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bagi Anda yang mengalami masa pemerintahan Orde Baru atau sebelum tahun 1998, tentu masih ingat dengan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lebih dikenal film G30S/PKI.
Sepanjang Orde Baru berkuasa, film ini wajib diputar oleh semua stasiun televisi setiap tanggal 30 September.
Film ini dibuat untuk mengenang peristiwa kelam pembunuhan 6 jenderal dan satu perwira TNI atau yang lebih dikenal sebagai Pahlawan Revolusi.
Baca: DPR: Tidak ada Aturan Mewajibkan atau Melarang Nonton Film G30S/PKI
Penculikan dan pembunuhan 6 jenderal dan 1 perwira itu terjadi pada 30 September malam atau 1 Oktober dini hari pada tahun 1965.
Namun hal itu berubah setelah reformasi. Menteri Penerangan kala itu yang juga merupakan jenderal dari TNI, Letjen Muhammad Yunus Yosfiah memutuskan untuk menghentikan penayangan "film wajib" tersebut.
Yunus mencatatkan diri sebagai orang yang pertama membuat aturan bahwa film Pengkhianatan G30S/PKI tak lagi wajib diputar.
Tapi tahukah Anda selain Letjen TNI Yunus, ada dua tokoh kunci lagi yang berperan di balik dihentikannya penayangan film G30S PKI? Siapa mereka?
Dari rujukan-rujukan yang diperoleh Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, yang dimuat di Intisari, setidaknya ada tiga tokoh sentral yang berperan dalam dihentikannya pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI.
Mereka adalah almarhum Marsekal Udara Saleh Basarah, Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dan Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono.
Majalah Tempo menulis, Menteri Pendidikan Juwono Sudarsono saat itu mengatakan, ia pernah ditelepon Marsekal Udara Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara KSAU (1973-1977) sekitar bulan Juni-Juli 1998.
"Beliau keberatan karena film itu mengulang-ulang keterlibatan perwira AURI pada peristiwa itu (30 September)," kata Juwono ketika diwawancarai 28 September 2012.
Sebagai menteri pendidikan kala itu, Juwono meminta kepada para ahli sejarah untuk meninjau kembali kurikulum pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA, khususnya yang memuat peristiwa-peristiwa penting.
Supaya informasi yang diperoleh siswa didik lebih berimbang.
Ada pun Menteri Penerangan saat itu, Letjend (Purn) TNI Yunus Yosfiah mengatakan, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika Reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang, TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan lagi film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Yunus seperti ditulis dalam harian Kompas, 24 September 1998.
Film G30S PKI
Memang, pada periode kepemimpinan Presiden Soharto, sebuah film legendaris berjudul Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI atau lazim dikenal dengan nama Pengkhianatan G30S/PKI wajib diputar di seluruh bioskop dan stasiun televisi Tanah Air.
Film produksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) tahun 1984 ini disutradari dan ditulis oleh Arifin C Noer.
Kala itu, ia menghabiskan waktu dua tahun untuk memproduksi film yang menghabiskan anggaran Rp 800 juta tersebut.
Setelah selesai, film berdurasi 3 jam itu lalu ditayangkan dan diputar secara terus menerus menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila selama 13 tahun.
Kemudian, peristiwa reformasi mengubah kembali arah sejarah Bangsa Indonesia.
Selang empat bulan setelah jatuhnya Soeharto, Departemen Penerangan memutuskan tidak lagi memutar film ini.
Arsip pemberitaan Harian Kompas 30 September 1998 menyebutkan, kala itu, Departemen Penerangan beralasan, film ini sudah terlalu sering ditayangkan.
"Karena terlalu sering diputar, filmnya juga sudah kabur," ucap Dirjen RTF Deppen Ishadi SK.
Bahkan Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah berpendapat, pemutaran film yang bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S/PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.
"Karena itu, tanggal 30 September mendatang TVRI dan TV swasta tidak akan menayangkan Lagi Film Pengkhianatan G30S/PKI," ujar Muhammad Yunus seperti dikutip dari Harian Kompas, 24 September 1998.
Selain itu, kalangan seniman, pengamat film, serta artis juga menyuarakan hal serupa.
Menurut pemberitaan Harian Kompas, 2 September 1998, sutradara film Eros Djarot saat itu menolak pemutaran film.
"Film itu sangat tidak perlu diputar," kata Eros. Hal senada juga digaungkan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (PB PARFI) periode 1993-1998, Ratno Timoer.
Ada pula yang menganggap, film ini menyimpan rasa dendam yang tidak menguntungkan.
Jalan Cerita dan Beberapa Adegan Tua Perdebatan
Pasca-Orde Baru runtuh, sejumlah pihak menyoroti kebenaran cerita film G30S/PKI.
Sejumlah adegan dan penggambaran sosok dalam film juga dipertanyakan karena dianggap tak sesuai dengan kenyataan.
Di antaranya adalah soal adegan DN Aidit merokok.
Mengutip Intisari, menurut anak DN Aidit, Ilham Aidit, penggambaran ayahnya merokok tidaklah benar.
Namun, majalah Intisari yang terbit pada Maret 1964 berisi keterangan yang sebaliknya.
Intisari yang melakukan wawancara dengan DN Aidit selama dua jam itu menerangkan bahwa tokoh PKI tersebut banyak minum, merokok, dan menikmati secangkir kopi pahit.
Perwira TNI yang menjadi eksekutor Aidit bercerita saat penangkapan Aidit di Solo.
Ada puntung rokok yang sempat dinikmatinya.
Sebelum dieksekusi mati, Aidit juga sempat meminta rokok kepada petugas pemeriksa.
Adegan lainnya yang dipersoalkan adalah mata dicongkel yang dinilai tak sesuai dengan fakta.
Imelda Bachtiar, penulis memor kesejarahan, mewawancarai dr Liem Joe Thay yang kemudian lebih dikenal dengan Prof Arief Budianto, kini telah almarhum, Guru Besar Kedokteran Forensik UI.
Ia salah seorang dokter non-militer yang saat itu diminta bergabung dengan Tim Kedokteran ABRI untuk memeriksa mayat enam perwira tinggi dan satu perwira pertama korban, pada malam 4 Oktober sampai dini hari 5 Oktober 1965.
Bagian terpenting dari wawancara itu yang juga dikutip oleh Julius Pour dalam bukunya Gerakan 30 September, Pelaku, Pahlawan dan Petualang (Penerbit Buku Kompas, 2010) adalah ketika Prof Arief menyatakan, “Satu lagi, soal mata yang dicongkel. Memang, kondisi mayat ada yang bola matanya copot, bahkan ada yang sudah kontal-kantil. Tetapi itu karena sudah tiga hari terendam air di dalam sumur dan bukan karena dicongkel paksa. Saya sampai periksa ulang dengan saksama tapi matanya dan tulang-tulang sekitar kelopak mata. Apakah ada tulang yang tergores? Ternyata tidak ditemukan...”
Agus Surono bertanya pada Prof Arief, mengapa di film ada adegan penyiksaan yang sadis dengan mencungkil bola mata, “Itu semua tidak ada, pemeriksaan mayat membuktikannya. Film itu kan propaganda Orde Baru,” demikian Prof Arief.
Tribunnews.com/Intisari/Kompas.com
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.