Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

DPR Didesak Tetapkan RUU PKS Sebagai Prolegnas Prioritas 2021

Pembahasan dan pengesahan RUU PKS ini diperjuangkan tak lain demi mewujudkan hak-hak para korban kekerasan seksual.

Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Malvyandie Haryadi
zoom-in DPR Didesak Tetapkan RUU PKS Sebagai Prolegnas Prioritas 2021
Tribunnews/JEPRIMA
Puluhan wanita saat menggelar aksi unjuk rasa mengenai rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) di depan gedung DPR, Jakarta Pusat, Selasa (7/7/2020). Pada aksi tersebut mereka meminta untuk segera mengesahkan RUU PKS. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Nasional 2021.

Desakan itu diberikan Komnas Perempuan dengan harapan adanya tindak lanjut berupa harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) hingga pengesahan di rapat paripurna DPR RI.

Pembahasan dan pengesahan RUU PKS ini diperjuangkan tak lain demi mewujudkan hak-hak para korban kekerasan seksual.

Bukan tanpa alasan, desakan ini dilakukan atas dasar banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia.

Baca: DPR RI Didesak Jaringan Masyarakat Sipil Indonesia Timur untuk Prioritaskan RUU PKS

Baca: PDIP Harap Seluruh Fraksi Pendukung di DPR Komitmen Segera Loloskan dan Sahkan RUU PKS

Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan terdapat pelaporan 46.698 kasus kekerasan seksual di ranah personal dan ranah publik sepanjang tahun 2011-2019.

Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan juga tampak dari hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016.

Surveri tersebut diadakan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA).

Berita Rekomendasi

Hasil survei menunjukkan 1 dari 3 perempuan usia 15–64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya.

Kemudian, sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15–64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.

Jumlah tersebut dihitung dari kasus-kasus yang berhasil dilaporkan.

Data itu merupakan fenomena gunung es dari situasi yang sebenarnya.

Peningkatan kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya menunjukkan minimnya perlindungan dan keamanan terhadap perempuan.

Baca: Fraksi PKB Buka Komunikasi dengan Fraks Lain untuk Tuntaskan Pembahasan RUU PKS

Baca: Ratusan Masyarakat Sipil Kecewa RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020: Hanya Janji yang Terus Gagal

Tanpa adanya penindakan yang tegas terhadap para pelaku, kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus-menerus.

Fakta menunjukkan bahwa dampak kekerasan seksual terhadap korban sangat serius dan traumatik yang mungkin berlangsung seumur hidup.

Bahkan di beberapa kasus, dapat mendorong korban melakukan bunuh diri.

Mayoritas, korban kekerasan seksual yang merupakan perempuan dan anak-anak, mengalami dampak langsung di antaranya terhadap:

 - Kesehatan fisik atau psikis;

- Pemenuhan Hak Asasi Perempuan dan relasi sosial, dan

- Ekonomi, terutama dalam hal pemiskinan korban/keluarga.

Dengan demikian, kekerasan seksual juga tidak hanya berdampak terhadap individu, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan negara, khususnya pada penurunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) suatu negara.

Hasil pantauan Komnas Perempuan mencatat bahwa hingga saat ini, korban kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapatkan keadilan, perlindungan dan pemulihan dari negara.

Baca: Komnas Perempuan Sebut RUU PKS Beri Solusi kepada Korban Kekerasan Seksual Cari Keadilan

Baca: Ratusan Masyarakat Sipil Kecewa RUU PKS Ditarik dari Prolegnas 2020: Hanya Janji yang Terus Gagal

Pantauan tersebut berdasar pada pengalaman penanganan kasus-kasus kekerasan seksual, terdapat beberapa isu krusial di antaranya:

1. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang semakin beragam,dan kompleks yang belum diatur oleh undang-undang;

2. Jumlah Aparatur Penegak Hukum (APH) masih terbatas dan belum berperspektif perempuan dan korban, termasuk korban dari penyandang disabilitas; 

3. Penanganan hukum yang tidak terintegrasi dengan sistem pemulihan korban; dan 

4. Budaya kekerasan yang menempatkan korban dipersalahkan atas kekerasan seksual yang menimpanya.

Persoalan-persoalan tersebut tidak dapat ditanggulangi karena ketiadaan payung hukum yang komprehensif yang seharusnya memuat enam elemen kunci yaitu:

1. Pengakuan pada tindak pidana kekerasan seksual secara lebih komprehensif;

2. Sanksi pidana dan tindakan;

3. Hukum acara khusus;

4. Hak-hak korban, saksi, keluarga korban dan ahli;

5. Pencegahan dan

6. Pemantauan.

Komnas Perempuan, karenanya, berpendapat bahwa upaya penghapusan kekerasan seksual adalah sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara.

Falsafah yang kemudian menjadi norma tersebut diatur dalam hukum tertinggi di Indonesia yaitu konstitusi.

Konstitusi mengatur jaminan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), dan perlindungan warga yang telah disepakati sebagai konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca: RUU PKS Dianggap Mengadopsi Ideologi Barat, LBH APIK: Justru Kita Lihat Situasi Korban di Indonesia

Baca: Pemerintah Minta DPR Prioritaskan RUU PKS

Secara konstitusional, upaya penghapusan kekerasan seksual menjadi pelaksanaan kewajiban negara pada pemenuhan hak konstitusional warga negara, terutama : Pasal 20, Pasal 28A,Pasal 28B Ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28H ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) dan Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Upaya pemenuhan hak konstitusional perempuan ini dilakukan dengan mendorong pembaharuan hukum melalui RUU PKS sejak tahun 2014.

Harapan Indonesia akan RUU ini sempat terhenti saat Komisi VIII menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak lagi menjadi usulan Komisi VIII dan proses penyusunan dan pembahasan RUU ini dikoordinasikan lebih lanjut oleh Badan Legislasi DPR RI.

Rapat kerja Baleg, DPD dan Menkumham RI tentang Evaluasi Prolegnas pada 2 Juli 2020 kemudian memutuskan secara resmi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual keluar dari Prolegnas Prioritas 2020.

Keputusan itu pun menuai polemik di kalangan masyarakat sampai saat ini.

Terbukti bahwa masyarakat membutuhkan payung hukum untuk memenuhi hak atas keadilan dan pemulihan korban kekerasan seksual dan memastikan negara bertanggungjawab dalam menciptakan ruang-ruang yang aman dari kekerasan seksual.

Komnas Perempuan bersama Jaringan Masyarakat Sipil telah mengusulkan Naskah Akademik (NA) dan RUU PKS kepada sejumlah Anggota Legislatif untuk diusulkan kembali menjadi usul inisiatif DPR RI.

Menjelang sidang paripurna DPR RI untuk menentukan prioritas Prolegnas 2021, Komnas Perempuan menyampaikan beberapa tuntutan di antaranya:

1. Mendukung penuh dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada para anggota DPR RI dan Fraksi yang telah menjadi unsur pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

2. Mendorong dan mendukung DPR RI untuk menetapkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai RUU Prolegnas Prioritas 2021di Rapat Paripurna DPR RI Oktober 2020.

3. Merekomendasikan DPR RI untuk mengintegrasikan 6 (enam) elemen kunci yaitu: (1) tindak pidana kekerasan seksual; (2) sanksi pidana dan tindakan; (3) hukum acara khusus; (4) hak-hak korban, saksi, keluarga korban dan Ahli; (5) pencegahan dan (6) pemantauan, dalam NA dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual usul inisiatif DPR RI.

4. Mengajak seluruh penyintas, keluarga penyintas, pendamping, media massa dan masyarakat sipil, dan juga pemerintah untuk terus mengawal pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Sumber: Siaran Pers Komnas Perempuan

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas