HUT Ke 75 TNI, Koalisi untuk Reformasi Sektor Keamanan Beri 8 Catatan Kritis
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memberikan delapan catatan kritis untuk TNI.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengucapkan selamat dan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh prajurit TNI atas perannya menjaga pertahanan negara Indonesia.
Ucapan tersebut diungkapkan dalam rangka HUT Ke 75 TNI yang jatuh, Senin (5/10/2020).
Selain mengucapkan selamat mereka pun memberikan delapan catatan kritis untuk TNI.
"Koalisi menilai di usianya yang tidak lagi muda ini, muncul harapan besar TNI ke depan menjadi alat pertahanan yang semakin kuat, modern, profesional, dan mampu menjalankan tugas-tugasnya secara akuntabel, menghormati tata negara demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia," sebagaimana ditulis dalam keterangan tertulis Koalisi untuk Reformasi Keamanan, Senin (5/10/2020).
Koalisi memandang momentum HUT TNI yang ke-75 tahun ini tidak boleh hanya menjadi sekadar repetisi perayaan yang sifatnya seremonial belaka.
Baca: Panglima Angkatan Bersenjata Australia Ucapkan Selamat HUT Ke-75 TNI
Menurut Koalisi di tengah kondisi bangsa dan negara yang sedang berada dalam suasana keperihatinan akibat krisis pandemi Covid-19, sudah seharusnya HUT TNI kali ini juga dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan diri mengingat masih banyaknya permasalahan dan agenda reformasi TNI yang belum terlaksana.
Koalisi mengakui, agenda reformasi dan transformasi TNI sejak tahun 1998 telah menghasilkan sejumlah capaian positif seperti seperti penghapusan peran sosial-politik TNI, pemisahan TNI dan Polri, penghapusan bisnis TNI dan lain sebagainya.
Namun, menurut Koalisi semua pencapaian itu bukan berarti menandakan bahwa proses reformasi TNI telah tuntas dijalankan.
Baca: Danlanud Silas Papare Hadiri Upacara HUT ke-75 TNI Secara Virtual
Menurut Koalisi sejumlah agenda tersisa seperti reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial dan agenda lainnya masih urung dilakukan.
Bahkan, kata Koalisi, yang terjadi adalah sebaliknya dimana proses reformasi TNI mengalami stagnasi dan dalam sejumlah aspek bisa dikatakan malah mengalami kemunduran.
Berikut delapan catatan Koalisi terkait agenda reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah yang harus didorong dan dijalankan oleh pemerintah ke depan:
Pertama, Koalisi mencatat adanya peran internal militer yang semakin menguat.
Koalisi mencatat dalam beberapa tahun belakangan ini terdapat perkembangan dimana militer mulai terlibat secara aktif dalam mengatasi permasalahan dalam negeri.
Menurut Koalisi keterlibatan aktif TNI dalam penanganan keamanan dalam negeri terlihat dengan masih dikirimnya pasukan TNI non-organik ke Papua dan Poso untuk mengatasi kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Baca: Di HUT TNI, Presiden Ucapkan Terima Kasih pada Prajurit yang Ikut Penanganan Pandemi Covid-19
Selain itu menguatnya keterlibatan TNI dalam tugas keamanan dalam negeri juga terlihat dalam rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme.
Di antaranya Koalisi memandang pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif serta keluar dari koridor penegakan hukum (criminal justice system).
Lebih jauh, menurut Koalisi berbagai MoU antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi yang belakangan ini marak dibentuk dan sering digunakan sebagai landasan bagi pelibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri merupakan langkah keliru dan secara jelas bertentangan dengan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Koalisi memandang merebaknya berbagai MoU itu mengarah pada menguatnya kembali militerisme dan berpotensi menempatkan tata kelola keamanan seperti pada masa orde baru yang membuka ruang bagi hadirnya peran militer secara luas dalam keamanan dalam negeri dan ranah sipil.
Kedua, koalisi mencatat TNI kembali di jabatan sipil.
Koalisi memandang Reformasi politik paska 1998 mensyaratkan mensyaratkan penghapusan peran sosial politik TNI dan salah satu cerminnya adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan politik seperti di DPR, Gubernur, Bupati, atau jabatan di kementerian dan lainnya.
Namun demikian, Koalisi menilai kini banyak anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil seperti di, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan bahkan di Badan Usaha Milik Negara.
Mengutip catatan Ombudsman RI, Koalisi menyebut saat ini sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN.
Ketiga, Koalisi mencatat rencana pelatihan militer di perguruan tinggi.
Koalisi memandang rencana kementerian pertahanan berencana merekrut mahasiswa terlibat dalam latihan militer melalui program bela negara ataupun komponen cadangan.
Selain tidak memiliki urgensi, Koalisi di menilai rencana itu juga akan menjadi pintu masuk militerisasi di dalam kampus.
Keempat, Koalisi mencatat terkait restrukturisasi Komando Teritorial (Koter).
Menurut Koalisi Restrukturisasi Koter adalah salah satu agenda reformasi TNI yang diusung oleh gerakan mahasiswa dan demokratik lainnya pada awal reformasi 1998.
Agenda tersebut, kata Koalisi, disuarakan dalam satu paket dengan agenda penghapusan peran sosial-politik TNI yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI.
Dalam perjalanannya, meski peran politik ABRI/TNI telah dihapus, namun Koalisi menilai struktur Koter hingga kini tak kunjung juga direstrukturisasi dan masih dipertahankan.
Bahkan, menurut Koalisi eksistensi Koter semakin mekar sejalan dengan pemekaran atau pembentukan provinsi dan kabupaten-kabupaten baru di Indonesia.
Sebagai konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini, Koalisi memandang perlu segera dipikirkan dan dibentuk model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara terpadu dan lebih terintegrasi.
Kelima, Koalisi mencatat terkait pembangunan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaaan Alutsista.
Koalisi di antaranya memandang, sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI perlu dilengkapi oleh alutsista militer yang lebih baik, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia.
Namun demikian, Koalisi memandang penting dicatat bahwa langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta dengan mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri.
Koalisi juga mencatat dalam sejumlah pengadaan beberapa alutsista yang dibeli oleh pemerintah Indonesia berada di bawah standar dan kadang kala tidak sesuai dengan yang dibutuhkan.
Selain itu, Koalisi juga menilai pengadaan Alutsista kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga (broker).
Dalam beberapa kasus, kata Koalisi, keterlibatan mereka kadang kala berimplikasi terhadap dugaan mark-up dalam pengadaan alutsista.
Keenam, Koalisi memandang masih adanya kekerasan TNI terhadap masyarakat dan impunitas yang terus berlangsung.
Hingga saat ini, kata Koalisi, kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat dan pembela HAM masih terjadi di berbagai daerah, khususnya di daerah konflik di Papua.
Koalisi juga mencatat motif dari tindakan kekerasan yang dilakukan oknum anggota itu beragam, mulai dari motif persoalan pribadi, bentuk solidaritas terhadap korps yang keliru, sengketa lahan dengan masyarakat, terlibat dalam penggusuran, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM.
Menurut Koalisi praktik impunitas negara juga ditunjukan oleh otoritas sipil Ketika Presiden Jokowi menetapkan Brigjen Dadang Hendrayudha dan Brigjen Yulius Selvanus masing-masing sebagai Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan dan Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan Kementerian Pertahanan.
Koalisi juga mencatat sebelumnya, pada 6 Desember 2019 Prabowo juga mengangkat Chairawan Kadasryah Nusyirwan, yang pernah menjadi Komandan Tim Mawar sebagai Asisten Khusus Menteri Pertahanan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertahanan Nomor: KEP/1869/M/XII/2019.
Meski Dadang dan Yulius telah melalui proses hukum di Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta namun Koalisi memandang vonis tersebut tidak sebanding dengan perbuatan yang dilakukan.
Alih-alih memberikan hukuman setimpal kepada pelaku pelanggar HAM, Koalisi menilai otoritas sipil justeru melanggengkan praktik impunitas sekaligus mengkhianati komitmen penyelesaian pelanggaran HAM dengan memberikan pelaku pelanggar HAM jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Ketujuh, Koalisi mencatat agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU nomer 31/1997 belum selesai dilakukan.
Koalisi menilai selama reformasi peradilan militer belum dilakukan, maka selama itu pula bisa dikatakan bahwa reformasi TNI belum selesai.
Kedelapan, Koalisi mencatat terkait peningkatan kesejahteraan prajurit TNI.
Sebagai alat pertahanan negara, Koalisi memandang tugas pokok TNI dalam menjaga wilayah pertahanan Indonesia bukan pekerjaan mudah.
Karena itu, Kolaisi menolai untuk melaksanakan tugas pokoknya itu TNI membutuhkan kelengkapan alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang memadai dan kapasitas sumber daya manusia yang profesional.
Koalisi memandang dengan beban tugas yang berat dan suci itu, wajar apabila profesionalisme TNI ditunjang dengan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Koalisi menilai selama ini penguatan sumber daya manusia terkait dengan kesejahteraan prajurit TNI masih minim di antaranya terbatasnya rumah dinas anggota TNI.
Sejumlah lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan di antaranya LBH Jakarta, Public Virtue Institute, Imparsial, KontraS, SETARA Institute, Pil-Net, ELSAM, ICW, PBHI, LBH Pers, dan LBH Masyarakat.