IGJ Sebut Pengesahan UU Cipta Kerja Inkonstitusional dan Khianati Kedaulatan Rakyat
Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti mengatakan ada tiga alasan mengapa Undang-Undang Cipta Kerja tersebut harus batal demi hukum.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia for Global Justice (IGJ) mengecam keras pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang dilakukan DPR dan pemerintahg dengan cara-cara yang tidak demokratis dan inkonstitusional.
Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti mengatakan ada tiga alasan mengapa Undang-Undang Cipta Kerja tersebut harus batal demi hukum.
Pertama, DPR dan Pemerintah sengaja melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja secara tertutup.
Baca: Tak Sejalan, Ini Momen Fraksi Demokrat yang Walk Out saat Pembahasan RUU Cipta Kerja
Kedua, pembungkaman suara rakyat dengan menggunakan aparat keamanan yang siap berhadapan langsung dengan rakyat yang melakukan protes.
Ketiga, kedaulatan rakyat diabaikan.
“Demokrasi telah mati. Konstitusi telah dikangkangi oleh para pemimpin negeri ini. Liberalisasi ekonomi yang memfasilitasi kepentingan monopoli ekonomi korporasi dan oligarki telah menjadi panduan. Tidak ada lagi keadilan untuk rakyat," ujar Rachmi, melalui keterangannya, Selasa (6/10/2020).
Menurutnya agenda pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Omnibus Law Cipta kerja akan mendorong pemasifan investasi untuk industrialisasi yang berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam panggung Global Value Chain.
Baca: Status Pegawai Kontrak Bisa Seumur Hidup di UU Cipta Kerja? Ini Penjelasannya
Sebaliknya, negara abai untuk melindungi hak buruh, dan tanpa ada komitmen untuk memastikan keberlanjutan lingkungan serta melanggengkan model investasi yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.
"Omnibus law Cipta Kerja disusun hanya lebih merujuk pada isi perjanjian perdagangan bebas ketimbang amanat Konstitusi," kata Rachmi.
Sementara itu, Koordinator Advokasi IGJ Rahmat Maulana Sidik mengatakan RUU Cipta Kerja secara jelas mengadopsi rezim pasar bebas yang ditetapkan WTO di sektor pangan.
Baca: RUU Cipta Kerja Disahkan, Indonesia Resmi Masuki Era Penyiaran Digital
Buktinya RUU Cipta Kerja yang kini menjadi UU telah mengubah empat UU Nasional yang berkaitan soal pangan dan pertanian agar sesuai dengan ketentuan WTO. Tentunya, liberalisasi pangan akan semakin memperburuk kondisi petani kita.
"RUU Cipta Kerja membuka liberalisasi impor pangan seluas-luasnya dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Tentu ini membawa ancaman serius bagi keberlanjutan petani dan pangan nasional. Sementara, Negara tidak peduli dengan keberlanjutan nasib petani dan pangan nasional," ujar Maulana.
Liberalisasi perdagangan internasional di sektor pangan akan menyebabkan Indonesia bergantung pada pangan impor dan mengabaikan nasib pangan lokal. Terlebih lagi kini Pemerintah telah membangun proyek food estate.
"Aturan Omnibus Law Cipta Kerja dibuat untuk melegitimasi Food Estate. Mempermudah investasi, impor, dan ekspansi pasar bebas. Kehadiran proyek Food Estate ini bukan untuk petani kecil, justru untuk mengakomodir kepentingan industri pertanian skala besar dan petani sebagai buruh diatas lahan food estate. Hal ini membuat Indonesia bergantung pada pangan impor dan membuka ruang yang besar bagi monopoli korporasi pangan di Indonesia," imbuh Maulana.