Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

IGJ Sebut Pengesahan UU Cipta Kerja Inkonstitusional dan Khianati Kedaulatan Rakyat

Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti mengatakan ada tiga alasan mengapa Undang-Undang Cipta Kerja tersebut harus batal demi hukum.

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Adi Suhendi
zoom-in IGJ Sebut Pengesahan UU Cipta Kerja Inkonstitusional dan Khianati Kedaulatan Rakyat
Serambi Indonesia/Hendri
Buruh menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law di Banda Aceh, Selasa (25/8/2020). Para buruh yang tergabung dalam Aliansi Buruh Aceh melakukan unjuk rasa menolak RUU Omnibus Law karena dinilai dapat merugikan pekerja dan lingkungan hidup. Serambi Indonesia/Hendri 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia for Global Justice (IGJ) mengecam keras pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang dilakukan DPR dan pemerintahg dengan cara-cara yang tidak demokratis dan inkonstitusional.

Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti mengatakan ada tiga alasan mengapa Undang-Undang Cipta Kerja tersebut harus batal demi hukum.

Pertama, DPR dan Pemerintah sengaja melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja secara tertutup.

Baca: Tak Sejalan, Ini Momen Fraksi Demokrat yang Walk Out saat Pembahasan RUU Cipta Kerja

Kedua, pembungkaman suara rakyat dengan menggunakan aparat keamanan yang siap berhadapan langsung dengan rakyat yang melakukan protes.

Ketiga, kedaulatan rakyat diabaikan.

“Demokrasi telah mati. Konstitusi telah dikangkangi oleh para pemimpin negeri ini. Liberalisasi ekonomi yang memfasilitasi kepentingan monopoli ekonomi korporasi dan oligarki telah menjadi panduan. Tidak ada lagi keadilan untuk rakyat," ujar Rachmi, melalui keterangannya, Selasa (6/10/2020).

BERITA TERKAIT

Menurutnya agenda pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Omnibus Law Cipta kerja akan mendorong pemasifan investasi untuk industrialisasi yang berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam panggung Global Value Chain.

Baca: Status Pegawai Kontrak Bisa Seumur Hidup di UU Cipta Kerja? Ini Penjelasannya

Sebaliknya, negara abai untuk melindungi hak buruh, dan tanpa ada komitmen untuk memastikan keberlanjutan lingkungan serta melanggengkan model investasi yang merusak lingkungan dan melanggar hak asasi manusia.

"Omnibus law Cipta Kerja disusun hanya lebih merujuk pada isi perjanjian perdagangan bebas ketimbang amanat Konstitusi," kata Rachmi.

Sementara itu, Koordinator Advokasi IGJ Rahmat Maulana Sidik mengatakan RUU Cipta Kerja secara jelas mengadopsi rezim pasar bebas yang ditetapkan WTO di sektor pangan.

Baca: RUU Cipta Kerja Disahkan, Indonesia Resmi Masuki Era Penyiaran Digital

Buktinya RUU Cipta Kerja yang kini menjadi UU telah mengubah empat UU Nasional yang berkaitan soal pangan dan pertanian agar sesuai dengan ketentuan WTO. Tentunya, liberalisasi pangan akan semakin memperburuk kondisi petani kita.

"RUU Cipta Kerja membuka liberalisasi impor pangan seluas-luasnya dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Tentu ini membawa ancaman serius bagi keberlanjutan petani dan pangan nasional. Sementara, Negara tidak peduli dengan keberlanjutan nasib petani dan pangan nasional," ujar Maulana.

Liberalisasi perdagangan internasional di sektor pangan akan menyebabkan Indonesia bergantung pada pangan impor dan mengabaikan nasib pangan lokal. Terlebih lagi kini Pemerintah telah membangun proyek food estate.

"Aturan Omnibus Law Cipta Kerja dibuat untuk melegitimasi Food Estate. Mempermudah investasi, impor, dan ekspansi pasar bebas. Kehadiran proyek Food Estate ini bukan untuk petani kecil, justru untuk mengakomodir kepentingan industri pertanian skala besar dan petani sebagai buruh diatas lahan food estate. Hal ini membuat Indonesia bergantung pada pangan impor dan membuka ruang yang besar bagi monopoli korporasi pangan di Indonesia," imbuh Maulana.

Di sisi lain, Rachmi menyinggung soal penghapusan pasal 20 UU Paten di dalam Pasal 110 Omnibus Law Cipta Kerja.

Hal itu menurutnya hanya akan kembali memperkuat ruang monopoli paten obat oleh perusahaan-perusahaan farmasi besar dan berdampak jangka panjang bagi pemenuhan jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia.

“Penghapusan pasal 20 UU Paten di dalam RUU Cipta Kerja adalah keliru dan bukanlah langkah tepat untuk menjawab persoalan hambatan investasi. Justru penghapusan pasal ini hanya akan merugikan kepentingan nasional Indonesia dan menghambat agenda pembangunan industri nasional akibat tidak terjadinya transfer teknologi dan monopoli terhadap pengetahuan dan teknologi," kata Rachmi.

Rachmi mengatakan penghapusan Pasal 20 UU Paten di dalam Omnibus Law akan mempersulit akses obat di Indonesia karena hilangnya kewajiban perusahaan paten untuk melaksanakan patennya di Indonesia.

Bahkan, pada akhirnya menghilangkan kekuatan pemerintah untuk dapat melaksanakan penggunaan paten oleh Pemerintah untuk memproduksi obat versi generik yang dibutuhkan oleh publik khususnya disituasi darurat, seperti penggunaan lisensi wajib.

Pasal 20 UU Paten, kata Rachmi, adalah mandat dari konstitusi. Jika kemudian pasal ini hendak dihapus karena alasan yang ‘inkonstitusional’, maka kiranya UU yang akan menghapus pasal 20 UU Paten itulah yang inkonstitusional.

“Justru, di tengah pandemic covid-19, masyarakat Indonesia membutuhkan pasal 20 UU Paten ini untuk dapat membuka akses seluas-luasnya obat dan alat medis yang dibutuhkan dalam penanganan Covid-19. Penghapusan pasal 20 UU Paten dalam Omnibus Law hanya akan memperburuk krisis kesehatan di masyarakat," kata Rachmi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas