Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

UU Cipta Kerja Dinilai Cacat Formil dan Cacat Materiil, KRPI akan Ajukan Judicial Review ke MK

Pemerintah hanya melibatkan kalangan pengusaha untuk membuat draft RUU Cipta Kerja ini, hingga diserahkan ke DPR

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-in UU Cipta Kerja Dinilai Cacat Formil dan Cacat Materiil, KRPI akan Ajukan Judicial Review ke MK
TRIBUN JABAR/ZELPHI
Ratusan buruh dari Kawasan Industri Leuwigajah, Kota Cimahi melakukan demonstrasi turun ke jalan menuntut agar Undang Undang Cipta Kerja yang baru disahkan agar dihapus, Selasa (06/10/2020). Akibat kegiatan demo ini jajaran petugas lalulintas Polres Cimahi melakukan pengaturan arus lalulintas dan mengarahkan pendemo yang melewati jalan Mahar Martanegara. Banyak warga yang menggunakan kendaraan terjebak dalam kemacetan tersebut. (Tribun Jabar/Zelphi) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) menilai Undang Undang  Cipta Kerja cacat secara formil dan cacat materiil. 

Sekertaris Jenderal DPP KRPI, Saepul Tavip  menyatakan, sejak awal rencana pembuatan UU Cipta Kerja hingga disahkan, UU ini memang penuh kontroversi di tengah masyarakat.

Hingga klaster ketenagakerjaan yang terakhir dibahaspun, masih menuai penolakan keras dari kalangan Serikat Pekerja.

"Dari sisi formil, sejak diumumkan Presiden tentang rencana pembuatan UU Cipta Kerja dengan metode Omnibus Law, Pemerintah tidak terbuka untuk melibatkan masyarakat dalam proses pembuatan RUU Cipta Kerja tersebut," katanya dalam keterangan pers, Selasa (6/10/2020).

DPR dan Pemerintah telah bersepakat mensahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja pada hari Senin, 5 Oktober 2020 lalu.

"Pemerintah hanya melibatkan kalangan pengusaha untuk membuat draft RUU Cipta Kerja ini, hingga diserahkan ke DPR," katanya.

Padahal Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu UU, namun dalam kenyataannya, pembahasan RUU Cipta Kerja, masyarakat tidak dilibatkan.

Baca: Presiden PKS Minta Jokowi Dengar Suara Buruh, Cabut UU Cipta Kerja dan Terbitkan Perppu

 
"Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu UU. Oleh karenanya Pemerintah dan DPR harus melibatkan masyarakat dalam pembuatan UU Cipta Kerja namun dalam pelaksanaannya masyarakat tidak dilibatkan," katanya.

Sejumlah pasal yang sudah disepakati di tingkat Panja ternyata berbeda hasil dengan isi pasal UU Cipta Kerja yang disahkan. Misal Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing).

Berita Rekomendasi

Dalam pembahasan RUU Cipker di tingkat Panja, telah disepakati untuk kembali ke UU 13/2003. Tapi di UU Cipta Kerja yang disahkan kemarin, ternyata berbeda dengan isi kesepakatan Panja.

"Sehingga terindikasi ada pihak yang sengaja membelokkan poin-poin kesepakatan Panja," katanya.

Dari sisi materiil, UU Cipta Kerja sarat dengan semangat fleksibilitas yang memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja.

Dihapuskannya syarat PKWT maksimal 3 tahun dan sekali perpanjangan PKWT, dan dibebaskannya outsourcing akan memastikan semakin banyak pekerja yang diperlakukan dengan sistem PKWT dan outsourcing.

Seperti kita ketahui bersama pekerja PKWT dan outsourcing adalah pekerja yang rentan dilanggar hak-hak normatifnya seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial.

Dalam UU Cipker, upah minimum propinsi menjadi wajib ditetapkan oleh Gubernur, sementara upah minimum kabupaten/kota menjadi tidak wajib (menggunakan kata dapat).

Hal ini akan mereduksi nilai upah sehingga mengancam penurunan kesejahteraan dan daya beli pekerja.

Prosedur dan mekanisme PHK yang lebih dilonggarkan serta kompensasi PHK yang direduksi dengan dihilangkannya ketentuan 15% uang penggantian hak, dihapuskannya ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK di berbagai pasal di UU No. 13 Tahun 2003 yang akan diatur di dalam Perturan Pemerintah (PP) merupakan bagian dari proses menurunkan tingkat perlindungan pekerja ketika mengalami PHK. Easy hiring, easy firing sangat terasa dalam UU ini.

Demikian juga dengan dipermudahnya penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA), jam kerja yang lebih fleksibel serta Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang akan menurunkan imbal hasil JHT buruh, adalah bagian dari penurunan kesejahteraan buruh dan keluarganya.

Baca: Jadi Salah Satu yang Setujui RUU Cipta Kerja, Krisdayanti Jelaskan Tujuan Mulia Omnibus Law

UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa hak rakyat adalah mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta hak mendapatkan jaminan sosial.

"Sehingga seluruh ketentuan material UU Cipta Kerja merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak konstitusional rakyat pekerja/buruh dan keluarganya," katanya. 

Dari uraian di atas, maka KRPI akan menempuh jalur perlawanan berikutnya yakni dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menolak seluruh isi klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja.

Hal ini sebagai bentuk pembelaan terhadap masa depan rakyat pekerja Indonesia beserta keluarganya.

"KRPI pun berharap seluruh komponen gerakan Serikat Pekerja di Indonesia untuk bahu membahu, kompak menolak UU Cipta Kerja yang sangat merugikan rakyat pekerja ini dengan tetap menjaga keselamatan pekerja dari bahaya Covid-19," katanya. 


Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas