Klaster Pendidikan Ada dalam UU Cipta Kerja, Maarif Nahdatul Ulama Merasa Dipermainkan DPR
Arifin Junaidi mengungkapkan kekecewaannya atas masuknya klaster pendidikan dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Lembaga Pendidikan (LP) Maarif Nahdatul Ulama (NU) Arifin Junaidi mengungkapkan kekecewaannya atas masuknya klaster pendidikan dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Arifin mengatakan pihaknya sempat dijanjikan Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda bahwa klaster pendidikan bakal dihapus dari draft RUU Cipta Kerja.
Namun, nyatanya setelah disahkan klaster pendidikan masih ada di dalam UU Cipta Kerja.
“Sebelumnya Ketua Komisi X DPR sudah menyampaikan kepada kami, melalui masyarakat bahwa soal pendidikan ini di-drop dari UU Cipta Kerja. Tapi ternyata masih tetap ada, karena itu kami tentu sangat kecewa. Kami merasa dipermainkan,” ucap Arifin saat dikonfirmasi, Selasa (6/10/2020).
Baca: Azis Syamsuddin Sebut 18 Anggota DPR Positif Covid-19 Saat Sidang Paripurna RUU Cipta Kerja
“Jadi saya tidak tahu ini, rezim apa ini, menganggap pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan begitu,” tambah Arifin.
Arifin mengatakan tidak selayaknya kegiatan pendidikan ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
Menurutnya, pasal 65 UU Cipta Kerja mengarahkan kegiatan pendidikan menjadi upaya mencari laba karena terdapat aturan perizinan usaha.
“Masa bunyinya pasal 65 itu pelaksanaan pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha. Di dalam undang-undang itu izin usaha sama dengan izin usaha. Jadi ada upaya mencari laba,” kata Arifin.
Padahal selama ini, Arifin mengatakan LP Maarif NU tidak pernah mengejar keuntungan dalam menjalankan pendidikan.
Menurut Maarif, aturan pada UU Cipta Kerja mensyaratkan izin usaha untuk pembukaan sekolah yang mengarah pada pencarian laba.
Baca: 18 Orang Tak Dikenal Ditangkap di Depan Gedung DPR, Diduga Penyusup dalam Demo UU Cipta Kerja
Dirinya menilai aturan ini akan mengancam pendidikan di daerah dan masyarakat menengah ke bawah.
“Kami ini kan banyak di desa di pelosok. Kami segmennya masyarakat menengah ke bawah. Jadi bisa mati ilmu sekolah madrasah kami, apa negara sanggup mengisi kekosongan itu kalau nanti kami gulung tikar,” tegas Arifin.
Rencananya, LP Maarif dengan lembaga pendidikan lain bakal mengajukan uji materi atau judicial review UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi.
“Iya kita akan bersama-sama dengan aliansi yang kemarin yang menolak UU Cipta Kerja dari unsur pendidikan, kita akan bergerak bersama lagi. LP Marif tentu akan ikut di dalamnya, dan Maarif juga akan mengambil langkah sendiri guna di-dropnya pasal pendidikan,” pungkas Arifin.
Seperti diketahui, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang.
Hal tersebut diputuskan dalam rapat paripurna masa persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 di gedung Nusantara DPR, Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020).
Baca: Isi RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang Telah Disahkan Menjadi UU Cipta Kerja, Download PDF-nya di Sini
“Berdasarkan yang telah kita simak bersama, saya mohon persetujuan. Bisa disepakati?” tanya Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin selaku pimpinan rapat paripurna.
“Setuju,” jawab para anggota dewan.
Sebelum disahkan menjadi undang-undang, Azis mempersilahkan Ketua Panja Baleg DPR Supratman Andi Agtas dan perwakilan sembilan fraksi untuk menyampaikan pandangan akhir terkait RUU Cipta Kerja.
Setelah itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mewakili pemerintah menyampaikan pandangan akhir terkait RUU tersebut.
Judicial Review
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) berencana mengajukan uji materi atau judicial review terhadap pasal pendidikan pada Undang-undang Cipta Kerja.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan langkah ini dilakukan karena UU Cipta Kerja mengarahkan liberalisasi pendidikan.
“Pasti judicial review itu akan kita lakukan karena regulasi ini akan memakan banyak korban,” tutur Ubaid.
Menurutnya, penjerumusan pendidikan Indonesia harus disetop melalui judicial review.
Dirinya mengatakan klaster pendidikan pada UU Cipta Kerja dapat menyebabkan bencana di dunia pendidikan Indonesia.
“Bencana pendidikan di Indonesia dimulai dari sini kalo tidak disetop. Pendidikan tidak lagi menjadi kedaulatan rakyat tapi menjadi kedaulatan pasar,” tutur Ubaid.
Baca: UU Cipta Kerja Baru Disahkan, Hotman Paris Ngaku Buru-buru Pelajari Isinya: Ini adalah Uang
Ubaid mengaku dibohongi DPR yang berjanji menghapus klaster pendidikan dari RUU Cipta Kerja.
Namun saat disahkan menjadi undang-undang, klaster pendidikan tetap muncul.
“Ini DPR bersandiwara dan bersilat lidah. Rakyat merasa dikibuli oleh wakilnya, karena sebelumnya komisi X jelas mengatakan klaster pendidikan keluar dari RUU Cipta Kerja,” pungkas Ubaid.
Sementara itu, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengecam sikap DPR dan pemerintah yang tetap memasukkan sektor pendidikan dalam UU Cipta Kerja.
Satriwan mengatakan, pihaknya sudah menyambut baik sikap DPR dan pemerintah yang sebelumnya berkomitmen tak memasukkan sektor pendidikan dalam RUU sapu jagat tersebut. Namun, dalam draf final UU Cipta Kerja masih terdapat sektor pendidikan.
“Ternyata masih ada Pasal yang memberi jalan luas kepada praktik komersialisasi pendidikan. Dengan kata lain, UU Ciptaker menjadi jalan masuk kapitalisasi pendidikan,” kata Satriwan.
Satriwan mengatakan, sektor pendidikan masuk dalam Paragraf 12 Pendidikan dan Kebudayaan, Pasal 65 Ayat (1) dalam UU Cipta Kerja yang menyebutkan Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam UU ini.
Kemudian Pasal 65 Ayat (2) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Menurut Satriwan, ketentuan tersebut membuat pemerintah leluasa mengeluarkan kebijakan perizinan usaha di sektor pendidikan.
“Artinya pemerintah (eksekutif) dapat saja suatu hari nanti, mengeluarkan kebijakan perizinan usaha pendidikan yang nyata-nyata bermuatan kapitalisasi pendidikan, sebab sudah ada payung hukumnya,” ujarnya.
Satriawan mengatakan, Pasal 1 Ayat (4) dalam UU Cipta Kerja juga menjelaskan terkait ‘Perizinan Berusaha’ yaitu, legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
Karenanya, ia menilai, sektor pendidikan akan direduksi menjadi aktivitas industri dan ekonomi. DPR, menurut Satriwan, tak berkomitmen menepati janjinya terhadap dunia pendidikan dan pegiat pendidikan.
“Hal ini menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan prank terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan. Sebelumnya dengan pedenya mereka mengatakan cluster pendidikan telah dicabut dari RUU ini, ternyata sebaliknya,” pungkasnya. (Tribun Network/fah/kps/wly)