Beredar 3 Versi Draf RUU Cipta Kerja: 905 Halaman, 1.028 Halaman dan 1.035 Halaman, Mana yang Benar?
Dengan demikian, setidaknya ada tiga versi draf RUU Cipta Kerja, yang berjumlah 905 halaman, 1.035 halaman, dan 1.028 halaman.
Penulis: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Keberadaan draf final RUU Cipta Kerja hingga saat ini masih belum jelas. Padahal, RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2020.
Beberapa saat sebelum pengesahan, awak media yang bertugas di parlemen memegang draf RUU Cipta Kerja pada 5 Oktober.
Baca juga: Bamsoet: Segera Terbitkan Peraturan Pemerintah untuk Akhiri Polemik UU Cipta Kerja
Siang hari sebelum rapat paripurna digelar, salah seorang pimpinan Badan Legislatif DPR memberikan draf RUU Cipta Kerja kepada wartawan.
Dokumen yang diberikan itu berjudul "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna". Dokumen tersebut berjumlah 905 halaman.
Beredar versi baru
Tidak hanya itu, pada hari ini, Senin (12/10/2020), beredar juga draf Undang-Undang Cipta Kerja dengan versi terbaru.
Kali ini, terdapat draf berjumlah 1035 halaman. Di halaman terakhir, terdapat kolom untuk tanda tangan pimpinan DPR Aziz Syamsuddin.
Menariknya, draf ini beredar di kalangan akademisi dan wartawan dengan nama penyimpanan " RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN.pdf".
Sejumlah versi yang berbeda itu membuat draf final RUU Cipta Kerja semakin simpang siur. Apalagi, belum ada draf final RUU Cipta Kerja yang bisa diakses publik di saluran resmi.
Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar menyatakan, naskah terkini RUU Cipta Kerja terdiri dari 1.035 halaman yang telah beredar di kalangan akademisi dan jurnalis.
Sementara sebelumnya terdapat beberapa versi yang beredar yakni versi 905 halaman yang dibagikan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi pada Senin pekan lalu serta versi 1.028 halaman yang diunggah di situs DPR.
Baca juga: IPW Ingatkan Polri Tak Perlu Panik Sikapi Aksi Unjuk Rasa Tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja
Dengan demikian, setidaknya ada tiga versi draf RUU Cipta Kerja, yang berjumlah 905 halaman, 1.035 halaman, dan 1.028 halaman.
Baca juga: Draf UU Cipta Kerja Bertambah 130 Halaman Setelah Dirapikan Hingga Anggota DPR Belum Tahu Fisiknya
Lantas, dokumen mana yang disahkan DPR?
Sekjen DPR RI Indra Iskandar mengatakan naskah final UU Ciptaker terdiri dari 1.035 halaman.
"Iya, iya (naskah 1.035 halaman itu yang final)," kata Indra saat dihubungi, Senin (12/10/2020).
Menurut Indra, naskah sejumlah 1.035 halaman itu akan ditandatangani Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin sore ini. Setelah itu, barulah naskah akan dikirim ke Presiden Jokowi.
Sebelumnya, anggota Badan Legislasi dari Fraksi Golkar Firman Soebagyo pada Kamis (8/10/2020) menyatakan, DPR masih melakukan penyempurnaan terhadap draf RUU Cipta Kerja.
Ia pun mengatakan, draf yang beredar belum final dan khawatir orang terprovokasi karena naskah tersebut.
"Artinya, bahwa memang draf ini dibahas tidak sekaligus final, itu masih ada proses-proses yang memang secara tahap bertahap itu kan ada penyempurnaan," kata Firman.
Bahkan, anggota DPR dari Fraksi PKS, Mulyanto, mengungkapkan bahwa semua anggota Dewan tidak menerima draf final RUU Cipta Kerja saat rapat paripurna pengesahan.
"Lalu di tengah paripurna, bahan drafnya ( UU Cipta Kerja) belum ada di tangan para anggota. Sampai hari ini belum dikirim dan belum kelihatan barangnya di anggota," kata Mulyanto dalam diskusi daring, Kamis (8/10/2020).
Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi (Awi) tak membantah pernyataan para anggota. Ia mengamini bahwa Baleg DPR masih memperbaiki draf UU Cipta Kerja.
Namun, ia menegaskan, koreksi yang dilakukan hanya sebatas pada kesalahan ketik atau pengulangan kata.
"Kami sudah sampaikan, kami minta waktu bahwa Baleg dikasih kesempatan untuk me-review lagi, takut-takut ada yang salah titik, salah huruf, salah kata, atau salah koma. Kalau substansi tidak bisa kami ubah karena sudah keputusan," ujar Awi saat dihubungi, Kamis (8/10/2020).
Artinya, menurut Awi, koreksi hanya sebatas pada redaksional, bukan substansi.
Awi mengatakan, koreksi redaksional terhadap RUU yang sudah disahkan pada rapat paripurna merupakan hal yang wajar.
Ia sekaligus membantah bahwa kesalahan-kesalahan itu diakibatkan RUU Cipta Kerja dibahas dan disahkan dengan tergesa-gesa.
Menurut dia, berdasarkan Pasal 72 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR memiliki waktu paling lama tujuh hari setelah tanggal pengesahan untuk menyampaikan RUU kepada presiden.
Selanjutnya, RUU akan otomatis terundangkan dalam 30 hari setelah tanggal pengesahan dengan atau tanpa tanda tangan presiden.
"Dalam pengesahan RUU, semua ada kesempatan untuk melakukan koreksi. Bukan mengubah substansi. Apalagi pembahasan UU ini kan kami dibatasi waktu, yaitu tiga kali masa sidang. Jadi harus disahkan. Tapi kan sudah selesai, kecuali belum selesai lalu disahkan itu repot," kata Awi.
Selain itu, Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menjelaskan, dalam tata tertib DPR tidak ada kewajiban membagikan draf final RUU kepada seluruh anggota saat pembahasan dalam Rapat Paripurna.
Menurut dia, RUU tersebut telah disepakati seluruh fraksi bersama pemerintah dalam pengambilan keputusan tingkat I.
Rawan pasal selundupan
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) khawatir akan adanya pasal-pasal selundupan dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang hingga kini belum jelas naskah resminya, termasuk tidak jelasnya draf final saat RUU itu disahkan.
Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nursyamsi mengatakan, sikap tertutup DPR saat ini dapat menyebabkan adanya pasal-pasal selundupan yang dimasukkan dalam UU Cipta Kerja.
"Sangat berpotensi begitu (ada pasal-pasal selundupan), proses yang tertutup tanpa ada pengawasan seperti ini, apa saja bisa terjadi demi kepentingan Presiden dan DPR," kata Fajri saat dihubungi Kompas.com, Senin (12/10/2020).
Fajri menuturkan, Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR melalui rapat paripurna pada Senin (5/12/2020) seharusnya telah bersifat final dan tidak berubah-ubah lagi.
"Apabila sekarang sudah disahkan, maka penambahan pasal atau bahkan perubahan kata yang mengubah norma pun adalah selundupan," ujar Fajri.
Fajri pun menyayangkan sikap tertutup DPR yang tidak mempublikasikan secara resmi naskah UU Cipta Kerja yang disahkan dalam paripurna pada pekan lalu.
Menurut Fajri, selain mengantisipasi adanya pasal selundupan, hal itu juga menjadi pertanggungjawaban DPR untuk memastikan naskah UU Cipta Kerja yang valid menyusul munculnya beragam versi UU Cipta Kerja.
"Dalam situasi ini seharusnya fraksi-fraksi di DPR bertanggung jawab akan apa yang mereka sahkan Senin minggu lalu itu, karena drafnya jelas-jelas berbeda," kata dia.
Sebagian berita tayang di Kompas.com:
Draf RUU Cipta Kerja Tidak Jelas, Ada Potensi Masuknya Pasal-pasal Selundupan
Beredar Lagi Versi Baru RUU Cipta Kerja, yang Mana Draf Finalnya?