Putusan Majelis Hakim dalam Kasus Jiwasraya Dinilai Bombastis
"Kita sayangkan karena hakim tidak melihat secara objektif bukti-bukti yang kita sampaikan, termasuk sejumlah fakta yang terjadi di persidangan."
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -Tim Kuasa Hukum Direksi PT Jiwasraya Tbk periode 2008-2018, Dion Pongkor, SH menilai putusan Majelis Hakim dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya sangat bombastis bahkan terkesan sekedar menyenangkan publik.
Indikasinya, kata Dion putusan yang dibuat Majelis Hakim mengabaikan fakta yang terjadi selama persidangan, termasuk mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 25/PUU-XIV/2016 soal perhitungan kerugian negara.
"Kita sayangkan karena hakim tidak melihat secara objektif bukti-bukti yang kita sampaikan, termasuk sejumlah fakta yang terjadi di persidangan," ujar Dion di Jakarta, Selasa (13/10/2020).
Baca juga: Kejagung Periksa 4 Pejabat Perusahaan Manajer Investasi Dalam Kasus Jiwasraya
Menurutnya, dari awal kasus Jiwasraya ini banyak kajanggalan dan terkesan dipaksakan.
Salah satu kejanggalan putusan Majelis dalam Perkara Pidana Nomor: 33/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst yakni terkait perhitungan kerugian negara.
Berdasarkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut kata "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
Baca juga: Rugikan Negara Rp 16,8 Triliun, Empat Terdakwa Kasus Jiwasraya Dihukum Seumur Hidup
Hal ini artinya, kerugian negara tidak dapat diartikan sebagai perkiraan kerugian, tapi harus benar-benar sudah nyata atau terjadi akibat tindak pidana yang dilakukan sehingga kata "dapat" dicabut oleh MK.
“Unsur kerugian negara harus benar-benar terjadi atau nyata dan bukan hanya potensi apalagi hanya sekedar halusinasi,” sindirnya.
Namun dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum, kata Dion perhitungan nilai kerugian yang dimasukan itu masih bersifat potential loss dan belum actual loss.
Perhitungan tersebut, menurut dia, tidak bisa dikatakan kerugian.
Apalagi, berbagai portofolio saham dan reksadana PT Asuransi Jiwasraya berpotensi terkerek naik jika sentimen pasar positif.
Sebab, naik turunya saham itu sangat tergantung isu-isu yang berkembang di pasar keuangan Indonesia.
"Dan saham-sahamnya masih ada sehingga belum bisa dikatakan kerugian rill,” terangnya.
Dion kembali menegaskan, perhitungan kerugian negara dalam kasus Jiwasraya ini tidak jelas.
Pasalnya, tidak menunjukkan secara nyata tindakan terdakwa yang mengakibatkan kerugian negara.
"Nah, dalam kasus Jiwasraya ini, tindakan terdakwa mana yang secara nyata menunjukkan kerugian negara? Ini kan nggak jelas. Jadi, unsur kerugian negara yang dinyatakan terbukti oleh Hakim, jelas tidak sesuai dengan Putusan MK 25/PUU-XIV/2016 yang telah menghapuskan kata "dapat" dalam pasal 2 (1) & 3 UU Tipikor," ulasnya.
Konsekuensi dari putusan MK yang mencabut kata "dapat" dalam Pasal 2 (1) & 3 UU Tipikor adalah mengubah pasal tersebut dari delik formil menjadi delik materiil, yang mensyaratkan adanya unsur kerugian negara harus dihitung secara nyata atau riil.
"Dalam kasus Jiwasraya ini, sudah jelas JPU tidak dapat membuktikan berapa nilai kerugian keuangan negara secara riil (actual loss). Dan majelis hakim pun setali tiga uang Jaksa. Putusannya copy paste dari tuntutan Jaksa," terang Dion.