ICW Soroti Problem Penegakan Hukum Terkait Vonis Kepala Daerah Korup yang Sangat Rendah
"Hukuman kepala daerah korup itu tidak berdaya cegah dan minim efek jera, jadi hukumannya sangat rendah," ujar Almas, peneliti ICW.
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti problem dalam penegakan hukum terhadap kepala daerah yang terjerat korupsi di Tanah Air.
Peneliti ICW Almas Sjafrina mengatakan hukuman kepala daerah yang terjerat korupsi sangatlah rendah.
Ini menjadi satu di antara faktor yang melatarbelakangi kepala daerah melakukan korupsi.
"Hukuman kepala daerah korup itu tidak berdaya cegah dan minim efek jera, jadi hukumannya sangat rendah," ujar Almas, dalam webinar 'Catatan Kritis Kebijakan dan Tata Kelola Pelaksanaan Pilkada', Kamis (15/10/2020).
Berdasarkan kajian ICW di tahun 2019 tentang hukuman kepala daerah yang kasusnya ditangani oleh KPK, Almas mengatakan rata-rata vonis kepala daerah hanya 6 tahun 4 bulan.
Almas mengatakan rata-rata vonis itu masih jauh dari vonis maksimal yang dapat dijatuhkan kepada para kepala daerah korup.
Baca juga: ICW: Pilkada Tak Langsung Bukan Solusi Bersihkan Korupsi yang Jerat Kepala Daerah
Bahkan, terdapat pula kasus-kasus dimana kerugian negara yang ditimbulkan koruptor itu tinggi namun vonis yang diberikan rendah.
"Kita ambil contoh di dua kasus, misalnya kasus Gubernur Kaltim Suwarna Abdul dan Bupati Siak dimana kerugian negaranya diatas Rp300 miliar tapi vonisnya hanya 4 tahun," kata dia.
"Kemudian juga ada kasus suapnya tinggi tapi vonisnya rendah, misalnya Gubernur Sumut yang kasusnya heboh dan melibatkan banyak anggota DPRD Sumut, suap yang diterima Rp61 miliar vonisnya hanya 3 tahun. Di kabupaten Empat Lawang juga bupatinya menerima suap Rp15 miliar vonisnya hanya 4 tahun," imbuhnya.
Almas turut menyoroti adanya problem disparitas tuntutan pidana.
Dimana kasus yang menyebabkan kerugian negara dilakukan oleh pelaku yang memiliki jabatan sama namun tuntutannya berbeda jauh.
Dia mencontohkan kasus Bupati Minahasa Utara Vonny Panambuan yang dituntut hanya dua tahun penjara.
Namun di saat yang sama, Bupati Sabu Raijua disebut Almas dituntut 12 tahun penjara.
"Jadi ada problem di penegakan hukum kita. Yaitu di penjatuhan vonis pada kepala daerah korup yang itu membuat penindakan korupsi kepala daerah tidak cukup berdaya cegah dan minim efektif jera. Sehingga terus berulang-ulang sampai Presiden juga seringkali bertanya ke lewat media penindakan banyak tapi kenapa korupsi masih banyak. Bahkan politisi-politisi kita di DPR juga mengkritik KPK, ya salah satunya karena itu," kata Almas.
"Penindakan banyak tapi kenapa kemudian korupsi kepala daerah, korupsi DPR itu masih banyak. Ya jawabannya salah satunya ini karena memang hukumannya tidak berdaya cegah dan minim efek jera," tandasnya.