Jokowi Bisa Lengser Gara-gara Demo UU Cipta Kerja? PDIP Bilang Jangan Mimpi di Siang Bolong
Menurut TB Hasanuddin Mosi Tidak Percaya tidak cukup untuk melengserkan Presiden Jokowi dari kursi orang nomor satu di Indonesia itu.
Penulis: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja disahkan DPR dan Pemerintah pada Senin, 5 Oktober 2020, berbagai elemen masyarakat membuat pernyataan Mosi Tidak Percaya.
Pernyataan Mosi Tidak Percaya itu bukan saja dialamatkan kepada DPR RI selaku perwakilan rakyat.
Tapi juga ditujukan kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi selaku kepala pemerintahan.
Bahkan unjuk rasa menentang UU Cipta Kerja telah berlangsung sejak 5 Oktober lalu hingga hari ini.
Baca juga: Soal UU Cipta Kerja, Politisi PDIP Sebut Sikap Demokrat Tak Konsisten Sejak Awal
Menanggapi pernyataan dan desakan publik tersebut, Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin angkat bicara.
Dia menegaskan tak mungkin Jokowi bisa dilengeserkan dari kursi Presiden Republik Indonesia.
Menurut TB Hasanuddin Mosi Tidak Percaya tidak cukup untuk melengserkan Presiden Jokowi dari kursi orang nomor satu di Indonesia itu.
Dia menilai, Mosi Tidak Percaya hanya berlaku bagi negara dengan sistem pemerintahan parlementer.
Berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem Presidensial.
Tak hanya itu, kata TB Hasanuddin, faktor lain yang membuat Jokowi akan sulit dilengserkan karena komposisi koalisi farksi di DPR yang masih solid.
“Melihat komposisi koalisi fraksi-fraksi pendukung presiden di DPR, rasanya seperti mimpi di siang bolong kalau ada yang bercita-cita melengserkan presiden pilihan rakyat," kata TB Hasanuddin dikutip Kompas TV dari RRI pada Jumat, (16/10/2020).
Seperti diketahui, istilah Mosi Tidak Percaya yang ada dalam politik Indonesia merupakan pernyataan adanya ketidakpercayaan dari DPR kepada pemerintah.
Namun dalam hak-hak DPR pada Pasal 77 Ayat 1 UU 27 Tahun 2009 mengenai penggunaan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, wakil rakyat itu bisa menyampaikan mosi tidak percaya.
Namun demikian, koalisi partai politik pendukung pemerintah di parlemen lebih banyak ketimbang oposisi.