Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

1 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Ketua Komisi X DPR Sebut Masih Banyak PR Bidang Pendidikan

Dia juga mencatat upaya pelaksanaan zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang lebih fleksibel ternyata belum terimplementasi baik di lapangan.

Editor: Hasanudin Aco
zoom-in 1 Tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Ketua Komisi X DPR Sebut Masih Banyak PR Bidang Pendidikan
Via Kompas.com
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda memimpin rapat kerja bersama Menpora Zainudin Amali, Selasa (14/4/2020). (Dokumen Komisi X DPR). 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma’ruf Amin masih belum banyak mengubah wajah Pendidikan di tanah air.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) masih berjibaku melakukan mitigasi krisis akademik maupun mitigasi kirisis ekonomi bidang pendidikan akibat pandemik Covid-19.

“Kami menilai belum banyak perubahan yang dilakukan Kemendikbud di bawah komando Menteri Nadiem Makarim selama satu tahun terakhir. Mas Menteri dan jajarannya tampaknya masih berjibaku mengatasi dampak Covid-19 di bidang Pendidikan yang memang memunculkan banyak persoalan,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda, Rabu (21/10/2020).

Dia menjelaskan sebelum datangnya pandemic Covid-19, Kemendikbud memang telah meluncurkan Program Merdeka Belajar maupun Program Kampus Merdeka.

Program tersebut menekankan pada perubahan paradigma belajar di mana satuan Pendidikan mempunyai keleluasaan lebih besar dalam memberikan ruang bagi peserta didik untuk mengembangkan minat dan bakat mereka.

“Namun program ini sepertinya belum sempat diterjemahkan secara regulatif di tataran impelementasi karena pandemic Covid-19,” ujarnya.

Baca juga: Catatan Indef soal 1 Tahun Jokowi-Maruf: Dari Utang Luar Negeri hingga Inflasi yang Terlalu Rendah

Huda menilai Program Merdeka Belajar yang berisikan empat program seperti penghapusan Ujian Nasional (UN), penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), pengantian Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan Zonasi PPBD yang lebih fleksibel belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan.

Berita Rekomendasi

Memang Kemendikbud mempercepat penghapusan UN yang harusnya dilakukan tahun 2021, tetapi bisa dilaksanakan tahun ini. Kendati demikian hal itu dilakukan semata karena kondisi darurat Covid-19, bukan atas sebuah rencana yang tersusun rapi.

“Buktinya asesmen kompetensi minimum dan survey karakter sebagai alat ukur baru penganti UN belum dilakukan oleh Kemendikbud,” katanya.

Dia juga mencatat upaya pelaksanaan zonasi penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang lebih fleksibel ternyata belum terimplementasi baik di lapangan.

PPDB 2020/2021 ternyata memunculkan banyak masalah yang memicu protesi para wali murid.

Perbedaan tafsir terhadap Permendikbud Nomor 44/2019 tentang PPDB oleh beberapa Pemerintah Provinsi (Pemprov) menjadi salah satu penyebabnya.

“Fakta ini menunjukkan kurangnya soliditas komunikasi antara Kemendikbud dan Dinas Pendidikan masing-masing provinsi. Kami berharap ini diantisipasi sejak dini sehingga PPBD tahun depan tak akan kisruh lagi,” katanya.

Dalam konteks mitigasi dampak Covid-19 di bidang Pendidikan, kata Huda juga banyak ditemukan indikasi kekurangsigapan Kemendikbud dalam melakukan antisipasi.

Satu hal yang paling jadi sorotan adalah lambannya Kemendikbud dalam merilis kurikulum adapatif saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).

Hal ini berimbas pada beratnya beban siswa dan orang tua siswa saat harus belajar dari rumah. Sebagian pengajar hanya memberikan tugas dan tugas sehingga membuat siswa dan orang tua siswa tertekan.

Bahkan beratnya PJJ ini membuat satu orang siswa di Kota Tangerang mengalami kekerasan dari orang tua hingga merenggang nyawa.

Beratnya beban akademik selama PJJ ini diduga juga menjadi pemicu kasus bunuh diri seorang siswi sekolah menengah di Gowa, Sulawesi Selatan.

“Harusnya sejak dari awal harus diantisipasi jika social distancing saat pandemic Covid-19 mengharuskan siswa belajar dari rumah. Oleh karena itu harus ada penyesuaian beban kurikulum, tapi ternyata kurikulum adaptif itu baru dirilis pertengahan Agustus atau hampir enam bulan setelah kasus Covid-19 merebak,” katanya.

Kendati demikian, Huda memberikan apresiasi terhadap politik anggaran Kemendikbud yang merespons dampak krisis ekonomi di bidang Pendidikan.

Pihaknya mencatat Kemendikbud melakukan mengeluarkan kebijakan relaksasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di mana kepala sekolah diberikan kelonggaran dalam penggunaan anggaran termasuk untuk mengaji guru honorer atau membeli pulsa untuk kebutuhan PJJ.

Kemendikbud juga melakukan kebijakan pemberian Dana BOS afirmasi bagi sekolah swasta.

“Jumlah alokasi dana BOS afirmasi dan kinerja sebesar Rp3,2 triliun dengan sasaran sebanyak 56.115 sekolah di 32.321 desa/kelurahan daerah khusus,” katanya.

Untuk Pendidikan tinggi, kata Huda Kemendikbud juga memberikan relaksasi pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa PTN terdampak pandemik.

Mereka bisa mengajukan penundaan pembayaran, meminta keringan, hingga meminta bantuan UKT kepada rector masing-masing.

Selain itu Kemendikbud juga menyiapkan anggaran Rp1 triliun untuk 400.000 bantuan UKT mahasiswa.

Yang tidak kalah penting adalah Kemendikbud juga mengalosikan anggaran hingga hampir Rp7 triliun untuk bantuan pembelian pulsa internet bagi peserta didik dan tenaga pengajar mulai dari PAUD hingga Perguruan Tinggi.

“Kami menilai subsidi kuota internet ini cukup krusial dilakukan karena hampir semua aktivitas pendidikan dilakukan secara daring. Kami memberikan apresiasi atas kebijakan Kemendikbud ini,” katanya.

Kedepan, kata Huda, Kemendikbud harus memperbaiki sektor komunikasi publik.

Dalam satu tahun terakhir menurutnya muncul banyak kegaduhan akibat ketidakmampuan Kemendikbud dalam mengelola komunikasi publik ini.

Kegaduhan Program Organisasi Penggerak (POP) menjadi contoh kongkret betapa buruknya komunikasi publik Kemendikbud.

Turunan program merdeka belajar ini ternyata menimbulkan polemik berkepanjangan di mana banyak elemen masyarakat yang protes terkait ketidakjelasan mekanisme rekruitmen dan indikator entitas Pendidikan yang masuk POP.

Akhirnya program POP tersebut harus ditunda. Selain itu juga publik juga digaduhkan dengan kebijakan Kemendikbud dalam mengandeng Netflix, jargon Merdeka Belajar yang ternyata merk swasta, dan somasi pemilik film yang karyanya digunakan untuk materi Belajar dari rumah.

“Menurut kami kegaduhan-kegaduhan ini muncul akibat kurang bagusnya Kemendikbud dalam mengelola komunikasi mereka. Oleh karena itu kedepan kami meminta agar hal tersebut bisa diperbaiki sehingga kerja besar Pendidikan tidak tersandera oleh hal-hal kecil yang bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik,” katanya.

Perbaikan komunikasi tersebut, lanjut Huda juga harus dilakukan khususnya untuk wacana perbaikan kurikulum Pendidikan di tanah air.

Menurutnya perbaikan kurikulum merupakan kerja besar yang harus dikaji secara matang dengan mempertimbangkan pandangan dari banyak kalangan.

Jangan sampai publik kembali dikejutkan dengan bocornya rencana penghapusan mata pelajaran agama yang hendak digabung dengan mata pelajara moral-Pancasila, atau kebijakan menjadikan pelajaran sejaran sebagai mata pelajaran pilihan.

“Kami berharap khusus untuk kurikulum ini Kemendikbud harus benar-benar hati-hati karena perubahan kurikulum akan berdampak besar pada wajah Pendidikan di tanah air. Oleh karena itu rencana tersebut harus dikomunikasikan secara baik dengan para pemangku kepentingan Pendidikan di Indonesia,” pungkasnya.

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setahun Nadiem, Ketua Komisi X Minta Kemendikbud Perbaiki Komunikasi Publik"

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas