Polri Mengaku Tak Tahu Penyidik Bawa Surat Penangkapan Saat Datangi Kantor Pentinggi KAMI Ahmad Yani
Bareskrim Polri mengaku tak mengetahui adanya surat perintah penangkapan terhadap Ketua Komite Eksekutif KAMI Ahmad Yani.
Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Adi Suhendi
Menurut Argo, KHA juga sempat menuliskan untuk mengumpulkan saksi melakukan aksi pelemparan terhadap gedung DPRD dan Polisi.
"Kemudian ada tulisan kalian jangan takut dan jangan mundur. Ada di WAG ini sebagai barang bukti," katanya.
Argo pun mengungkap peran 3 anggota KAMI Medan, JG, NZ dan WRP.
Baca juga: Fadli Zon Kritisi Penangkapan Petinggi KAMI, Ferdinand Hutahaean: Berhenti Menyudutkan Penegak Hukum
Argo menyebut tersangka JG menulis terkait pelemparan batu dan molotov di WA Grup KAMI Medan.
Dia juga menyampaikan keinginan adanya kerusuhan seperti 1998 di grup WA tersebut.
"Tersangka JG ini dalam WAG tadi menulis batu kena satu orang, bom molotov membakar 10 orang dan bensin berjajaran. Juga buat skenario seperti 1998 kemudian penjarahan toko china dan rumah-rumahnya, kemudian preman diikutkan untuk menjarah," kata Argo.
Menurut Argo, kata-kata itu yang menjadi bukti penangkapan terhadap JG.
Saat digeledah, rumah JG juga diketahui ditemukan molotov hingga pylox.
"Makanya kita dapatkan bom molotov-nya ini. Sama pylox untuk membuat tulisan, ada bom molotov. Untuk apa? Melempar, tadi saya sampaikan fasilitas. Mobil ini dilempar sehingga bisa terbakar," ungkapnya.
Baca juga: Sambangi Bareskrim, Gatot Nurmantyo Cs Bacakan 7 Petisi Sikapi Penangkapan Petinggi KAMI
Selanjutnya, anggota KAMI lainnya berinisial NZ ditangkap karena menuliskan tulisan tentang kebencian di grup WhatsApp tersebut yaitu perang pemerintah dan Tiongkok.
Kemudian, anggota berinisial WRP menuliskan terkait pembawaan bom molotov di grup WA KAMI Medan tersebut.
Argo menuturkan ucapan itu bersifat penghasutan yang membuat aksi demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja ricuh.
"Ada beberapa yang sudah dievaluasi tim cyber crime. Contoh juga gedung DPR Sumatera Utara sampai rusak. Ini salah satu gedungnya saja," katanya.
Untuk tersangka KA, menurut Argo yang bersangkutan mengunggah di Facebook terkati butir-butir dari pasal UU Cipta Kerja yang beredar di medsos yang bertentangan dengan draf UU Cipta Kerja asli.
Kemudian tersangka DW juga meniliskan kalimat tekait UU Cipta Kerja, yakni "bohong klo urusan omnibus law bukan urusan istana, tetapi sebuah kesepakatan."
Sementara itu, Deklarator KAMI Syahganda Nainggolan ditangkap karena cuitan di akun Twitter pribadinya.
Baca juga: BREAKING NEWS:Gatot, Din, Rocky Ditolak Saat Ingin Jenguk Tokoh KAMI yang Ditahan di Bareskrim
Diduga, unggahan tersebut berisikan konten yang berisikan berita bohong alias hoaks.
Argo Yuwono menyebut Syahganda menyebarkan gambar dan narasi yang tidak sesuai dengan kejadian di akun Twitternya.
Gambar yang disebarkan berkaitan dengan aksi unjuk rasa buruh menolak Omnibus Law.
"Tersangka SN, dia menyampaikan ke twitternya yaitu salah satunya menolak Omnibus Law, mendukung demonstrasi buruh, bela sungkawa demo buruh. Modusnya ada foto, kemudian dikasih tulisan, keterangan tidak sama kejadiannya. Contohnya ini. Ini kejadian di Karawang, tapi ini gambarnya berbeda," kata Argo.
Argo mengatakan ada sejumlah gambar yang dibagikan Syahganda tidak sesuai dengan kejadiannya.
Menurutnya, motif tersangka membagikan gambar itu di sosial medianya karena mendukung aksi buruh.
"Ada beberapa dijadikan barang bukti penyidik dalam pemeriksaan. Juga ada macam-macam, tulisan dan gambarnya berbeda. Dan motifnya mendukung dan mensupport demonstran dengan berita tidak sesuai gambarnya," katanya.
Selanjutnya, deklarator KAMI Jumhur Hidayat diduga terkait ujaran kebencian melalui akun sosial media Twitternya.
Argo mengatakan Jumhur diduga menyebarkan ujaran kebencian terkait dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Salah satu cuitan yang dipersoalkan adalah tudingan regulasi itu titipan Tiongkok.
"Tersangka JH di akun twitternya menulis salah satunya UU memang untuk primitif. Investor dari RRT dan pengusaha rakus. Ada beberapa tweetnya. Ini salah satunya," kata Argo di Bareskrim Polri, Jakarta, Kamis (15/10/2020).
Menurutnya, unggahan tersebut diklaim menjadi pemicu adanya kerusuhan saat aksi demo tolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di daerah.
Dia bilang ungkapan itu merupakan hasutan kepada masyarakat.
Ia juga menyampaikan unggahan itu disebutkan memuat berita bohong dan mengandung kebencian berdasarkan SARA.
"Akibatnya anarkis dan vandalisme dengan membuat kerusakan-kerusakan ini sudah kitabtangani. Pola dari hasutan," jelasnya.
Deklarator KAMI lainnya, Anton Permana ditangkap karena unggahannya di sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.
Dia melanggar pasal penyebaran informasi yang bersifat kebencian berdasarkan SARA.
Anton Permana diketahui menggunggah status yang menyebut NKRI sebagai Negara Kepolisian Republik Indonesia di akun sosial media Facebook dan YouTube pribadinya.
"Ini yang bersangkutan menuliskan di FB dan YouTube. Dia sampaikan di FB dan YouTube banyak sekali. Misalnya multifungsi polri melebihi dwifungsi ABRI NKRI jadi negara kepolisian republik indonesia," kata Argo Yuwono.
Selain itu, Anton Permana juga menggunggah status yang menyebutkan Omnibus Law sebagai bukti negara telah dijajah.
Selain itu, regulasi itu menjadi bukti negara telah dikuasai oleh cukong.
Menurutnya, unggahan itu sebagai bentuk penyebaran informasi bersifat kebencian dan SARA.
"Disahkan UU Cipta Kerja bukti negara telah dijajah. Dan juga negara tak kuasa lindungi rakyatnya, negara dikuasai cukong, VOC gaya baru," jelasnya.
Adapun para tersangka terancam dengan hukumnan beragam. Mulai dari 6 hingga 10 tahun penjara.
Empat tersangka dari Medan dikenakan Pasal 28 ayat 2 jo 45a UU ITE ditambah Pasal 190 KUHP dengan ancaman 6 tahun penjara.
JH dan AP terancam hukuman 10 tahun penjara. JH disangkakan melanggar Pasal 28 ayat 2 jo 45a UU ITE dan juga pasal 14 ayat 1 dan 2 KUHP dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
AP dikenakan Pasal 5a ayat 2 jo Pasal 28 UU ITE dan juga Pasal 14 ayat 1 dan 2 KUHP dan Pasal 15 UU 1/1946.
SN disangkakan melanggar Pasal 14 ayat 1 dan 2, Pasal 15 UU 1/1946 ancaman 6 tahun keatas.
DW dikenakan Pasal 28 ayat 2 jo 45a UU ITE, Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 KUHP dan pasal 415 UU 1/1946 dengan ancaman 6 tahun penjara.
Sementara tersangka KA dikenakan Pasal 14 ayat 1 dan 2 KUHP dan atau pasal 15 UU 1/1946. (Tribunnews.com/ Kompas TV/ igman ibrahim)