Mantan Menteri Lingkungan Hidup Percaya UU Cipta Kerja Mendorong Tren Investasi Ramah Lingkungan
Andaikata investasi dimudahkan otomatis itu berarti para pekerja dan lingkungan hidup dirugikan
Penulis: Taufik Ismail
Editor: Eko Sutriyanto

Laporan Wartawan Tribunnews Taufik Ismail
'TRIBUNNEWS. COM, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup 1993-1998, Sarwono Kusumaatmadja memiliki pandangan lain mengenai UU Cipta Kerja klaster lingkungan. Ia percaya UU tersebut berdaya dalam membangun tren investasi yang ramah lingkungan.
Saat ini menurutnya sudah jamannya bahwa investasi ramah lingkungan masuk ke dalam pasar investasi dan untuk itu semua pengaturan tentang investasi lingkungan hidup harus dipermudah.
Namun, bukan berarti mengorbankan lingkungan.
ia menambhakan bahwa regulasi lingkungan hidup perlu ada penyederhanaan seperti halnya aturan lain agar efektif.
“Karena kita sangat ketinggalan dalam regulasi. Birokrasi juga terlalu gemuk dan aturan kita saat ini satu sama lain juga tidak sinkron sehingga kemudian pemerintah, dalam hal ini Pak Jokowi mengambil inisiatif untuk membuat apa yang disebut Omnibus Law di mana segala macam aturan yang simpang siur dan saling bertentangan dengan birokrasi yang gemuk ini diselesaikan sekaligus.” kata dia, Selasa, (27/10/2020).
Hanya saja ia menyayangkan adanya persepsi umum, andaikata investasi dimudahkan otomatis itu berarti para pekerja dan lingkungan hidup dirugikan. Menurutnya, keberadaan UU Cipta Kerja adalah respon keadaan saat ini.
Oleh karena itu, pemerintah harus punya komunikasi yang bagus tentang UU Cipta Kerja ini agar orang yakin bahwa undang-undang ini tidak mengorbankan lingkungan atau para pekerja demi investasi.
Baca juga: Kolaborasi dengan Shopee, Pegadaian Perluas Akses Investasi Emas secara Online
Apalagi, tema utama yang ditonjolkan adalah mempermudah investasi sehingga orang otomatis berpikir lingkungan hidup dikorbankan.
“Padahal kan tidak. Karena banyak sekali instrumen-instrumen lingkungan hidup yang sudah waktunya diperkuat perannya." tuturnya.
Ia mengambil contoh dalam pengelolaan tata ruang, seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis dan Penilaian industri berbasis resiko.
"Kalau risiko nya rendah tidak perlu AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), kalau risikonya sedang juga tak perlu AMDAL asalkan UPL dan UKL-nya (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup) bagus. Kemudian semua perizinan di bidang lingkungan harus disatukan dalam izin usaha. Sehingga kalau terjadi masalah di bidang lingkungan, maka izin usahanya dicabut. Kalau sekarang kan tidak. Jadi segmentasi aturan ini yang sedang dibenahi." katanya.
Menurutnya terdapat kesalahan persepsi dari Undang-undang Cipta Kerja. salah satunya karena yang paling antusias menyambut keberadaan UU sapu jagat tersebut adalah Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Sehingga timbul pemikiran apabila Kadin diuntungkan, maka yang lainnya dirugikan.
Baca juga: Penyebab Jari Kaki Khabib Nurmagomedov Patah Jelang Laga Lawan Justin Gaethje
"Jalan pikiran sudah telanjur begitu, padahal tidak. Kita bisa membuat semacam solusi (win-win) untuk semua pihak dengan melakukan perombakan pada arsitektur regulasinya dan juga dengan penyederhanaan birokrasi,” kata dia.
Selain itu adanya penggunaan teknologi pemantauan akan mempercepat industri besar berbasis pengelolaan lahan dan sumber daya alam mencapai keberlanjutan utamanya dalam aspek kelestarian lingkungan.
"Karena semua informasi tentang lingkungan hidup itu bisa disusun lebih dulu. Di mana lembaga yang mengelola sistem pemantauan tersebut tidak memiliki kepentingan merahasiakan hasil pemantauannya. Jadi kalau negara lain cepet menyelesaikan soal-soal itu mengapa negara kita tidak bisa?,” ujarnya.
Sarwono berpendapat Pemerintah belum terlambat dalam meluruskan tujuan UU Cipta Kerja. Karena dalam rangka menyusun peraturan pelaksanaan UU tersebut, masih terbuka ruang untuk melakukan komunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
“Presiden Joko Widodo harus berani mengambil resiko membuat langkah besar, karena membiarkan keadaan seperti saat ini sangat berbahaya. Kita akan terperangkap dalam kelompok negara berpenghasilan medium tapi disaat yang sama kita memiliki mayoritas penduduk dalam usia produktif yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan ini. Nah, kita akan stuck. Sebagai bangsa tidak bisa menemukan energi positif untuk meraih berbagai kesempatan yang ada di depan mata kita," katanya.
Ia menilai hal ini sebagai pekerjaan besar sekaligus berisiko. “Namun jika ditunda, kita akan menghadapi problem yang lebih besar. Mudah-mudahan penanganan komunikasinya dapat diperbaiki secepatnya,” tambahnya.