Legislator PKS: Waspada Pasal Karet Dalam UU Cipta Kerja
Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf
mengungkapkan, UU Cipta Kerja menyimpan pasal karet di salah satu pasalnya.
Temuan ini ia peroleh setelah melakukan penyisiran pada Pasal 68 UU Cipta Kerja terkait perubahan
beberapa ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah
(PIHU).
"Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat
Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim
sebagaimana dalam UU No. 8/2019 (eksisting). Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman,
pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan
klausul persyaratan yang ditetapkan pemerintah pusat," kata Bukhori kepada wartawan, Sabtu
(31/10/2020).
Alhasil, Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil
terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg.
Namun di sisi lain, pembahasan perihal sanksi sayangnya dibahas oleh pemerintah dan DPR secara
terpisah, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU No. 8/2019 dengan menambahkan
batas waktu 5 hari, imbuhnya.
Baca juga: Politikus Muda PAN Siap Temui dan Dengarkan Aspirasi Kaum Milenial Terkait UU Cipta Kerja
"Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian memunculkan pasal tambahan, yakni
pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan. Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi
administratif ini nyatanya memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana
sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis," ujarnya.
Ketua DPP PKS ini menilai pasal sisipan tersebut sesungguhnya memiliki maksud yang baik, yakni
memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara haji/umrah yang
merugikan jemaah sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah
First Travel.
"Namun anehnya, di dalam pasal selanjutnya, yakni pasal 125 dan pasal 126 disebutkan bahwa PIHK
maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa
dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 10 miliar,"
ucapnya.
Sebagai informasi, pasal 118A dan 119A mencakup sanksi administratif, dari yang ringan yaitu
berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha.
Selain itu, ditambah kewajiban pengembalian biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU
dan/atau PIHK serta kerugian immateriil lainnya.
"Bila dicermati lebih lanjut, sebenarnya pasal 125 dan pasal 126 memiliki maksud yang absurd
akibat definisinya yang tidak jelas. Karena tampaknya pembentukan pasal tersebut dimaksudkan
untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan
rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan
yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran," ujarnya.
Padahal, lanjutnya, terkait mekanisme sanksi dari tindakan tersebut sebelumnya sudah diatur dalam
bentuk sanksi administratif, bisa dalam bentuk denda administratif sampai yang paling berat yakni
pencabutan izin ditambah pengembalian setoran jemaah, katanya.
Baca juga: Polisi Buru Perusuh yang Fotonya Viral Bakar Halte Sarinah Saat Demo UU Cipta Kerja
Alhasil, konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi ini akan membuka celah bagi
terjadinya multitafsir atau pasal karet.
Pasalnya, penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau keduanya (red, sanksi
administratif dan sanksi pidana) sekaligus.
"Berat sekali konsekuensinya bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif
bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun. Sedangkan di sisi lain, saya melihat ada
potensi atau celah bagi permainan hukum disini," katanya.
Dari segi etika hukum, politisi PKS ini menganggap pemberlakuan sanksi berlapis ini tidak pada
tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran.
Sebab, kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang
sangat bersamaan. Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan
kematian.
"Kami menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam
UU ini sesungguhnya tidak lepas sebagai akibat dari ketergesa-gesaan selama proses
penyusunannya," ujar dia.