Bamsoet: PPHN Dibutuhkan Sebagai Pedoman Arah Pembangunan Bangsa
Bamsoet mengungkapkan ada dorongan kuat dari publik agar MPR RI dapat menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara
Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengungkapkan ada dorongan kuat dari publik agar MPR RI dapat menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
Dorongan itu datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Forum Rektor Indonesia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, hingga Majelis Tinggi Agama Konghucu. Mereka memiliki pandangan bahwa Indonesia harus memiliki haluan negara.
Bamsoet mengatakan MPR RI sebagai Rumah Kebangsaan yang terdiri dari anggota DPR RI dan DPD RI dinilai menjadi lembaga yang tepat dalam membuat dan menetapkan PPHN.
Baca juga: Bamsoet Sosialisasikan Tugas, Fungsi, dan Kedudukan MPR RI
"Dari hasil survei yang dilakukan MPR RI periode 2014-2019, sebanyak 81,5 persen responden menyatakan perlu reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN, dan hanya 18,5 persen yang menjawab tidak perlu," ujar Bamsoet, saat menjadi pembicara utama di acara FGD 'Restorasi Haluan Negara Dalam Paradigma Pancasila', di Gedung MPR RI, Jakarta, Senin (9/11/20).
Baca juga: MPR Ungkap Tujuan Digelarnya Konferensi Nasional Etika Kehidupan Berbangsa
"Alasan yang paling dirasakan dan yang paling dekat dengan kepentingan masyarakat adalah karena saat ini pelaksanaan pembangunan nasional dianggap tidak berkesinambungan," imbuhnya.
Bamsoet menjelaskan keberadaan PPHN tidak akan mengembalikan posisi presiden sebagai mandataris MPR RI, tidak akan mengembalikan kedudukan MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara, dan tidak akan mengganggu sistem presidensial pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung oleh rakyat.
PPHN, kata dia, hanya memastikan agar pembangunan tetap berkelanjutan, serta adanya integrasi sistem perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah.
"Negara besar seperti China, India, dan Rusia, maupun negara seperti Singapura saja memiliki haluan negara. China, misalnya, dalam salah satu haluan negaranya menyatakan akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi pertama dunia di tahun 2030. Keberadaan PPHN di Indonesia juga tak jauh beda seperti di berbagai negara lainnya. Didalamnya memuat tujuan yang ingin dicapai bangsa Indonesia dalam beberapa tahun ke depan," kata dia.
"Sebagai gambaran awal, PPHN bisa menggambarkan apa yang ingin dicapai Indonesia pada usia kemerdekaannya yang ke-100 di tahun 2045. Mulai dari pertumbuhan ekonomi, pembangunan manusia, ataupun lainnya. Bagaimana cara mewujudkannya, diserahkan kepada presiden-wakil presiden terpilih," imbuhnya.
Politikus Golkar tersebut menerangkan PPHN akan menjadi landasan visi-misi bagi kandidat presiden-wakil presiden yang maju dalam Pilpres.
Baca juga: Pembaruan PPHN Merespons Perubahan
Dengan demikian, arah pembangunan bangsa lebih terencana dan setiap presiden-wakil presiden akan bekerja sesuai haluan negara. Bukan bekerja sekehendak hatinya, apalagi sesuai pesanan konsultan politik semata.
"Pentingnya kehadiran haluan negara dapat dianalogikan sebagai berikut, jika diibaratkan Indonesia adalah sebuah bahtera besar yang sedang berlayar mengarungi samudera luas, apakah memerlukan haluan ke mana kapal ini akan menuju? Atau, percayakan saja kepada nakhoda ke mana bahtera ini akan diarahkan. Ke kanan boleh, ke kiri boleh, zig zag boleh, atau mau putar haluan pun juga boleh? Jawabannya tentu saja tidak. Indonesia memerlukan haluan untuk menuju tujuan yang dicita-citakan bersama," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menambahkan dalam FGD tersebut, Prof. Ravik Karsidi dari Forum Rektor Indonesia memaparkan tiga skenario mengembalikan kembali keberadaan haluan negara dalam sistem ketatanegaraan berbangsa dan bernegara.
Alternatif pertama, melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945 untuk memberikan kewenangan kepada MPR RI untuk membuat dan menetapkan PPHN.
Alternatif kedua, merevisi UU No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, UU No. 17/2014 tentang MD3, serta UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
"Sementara alternatif ketiga melalui konvensi ketatanegaraan. Pilihan paling rasional dan paling banyak disuarakan adalah alternatif pertama, yakni melalui amandemen terbatas UUD NRI 1945," pungkas Bamsoet.