Partai Nasdem Cari Calon Pemimpin Bangsa, Siapkan Perangkat Kerja Konvensi Capres-Cawapres 2024
Dewan Pakar Partai Nasdem pun menggelar diskusi bersama para ahli dan pengamat untuk mendapatkan masukan terkait rencana konvensi
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyiapkan calon pemimpin terbaik bangsa harus sudah dimulai dari sekarang. Walau pemilihan presiden (Pilpres) baru akan digelar pada 2024 mendatang, namun waktu empat tahun bukanlah waktu lama.
Dewan Pakar Partai NasDem pun menggelar diskusi bersama para ahli dan pengamat untuk mendapatkan masukan terkait rencana konvensi Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
’’Kita ingin pandangan dari para pakar terkait konvensi, baik dari aspek sosiologis, filosofis, praktis, mekanisme, substansi, surveinya dan lain-lain sehingga aspeknya luas. Untuk mendapatkan konsepsi yang mendalam memang bisa diskusi 10 kali,’’ kata Ketua Dewan Pakar Partai NasDem yang juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan DR. Ir, Siti Nurbaya, M.Sc saat membuka diskusi di Jakarta, Rabu malam (18/11).
Siti yang baru saja mendapat gelar kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana dari Presiden Jokowi Widodo itu mengungkapkan, proses konvensi bisa dimulai pada akhir 2021 atau awal 2022.
Pada prinsipnya, Nasdem sebagai partai modern dengan jargon antimahar ini ingin ada pendidikan politik yang baik untuk negeri ini.
’’Kita ingin mencari putra terbaik bangsa melalui cara konvensi,’’ kata mantan Sekjen Depdagri dan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Hadir dalam diskusi Ketua Dewan Pertimbangan Nasdem Siswono Yudo Husodo, Ketua Majelis Tinggi DPP Nasdem Lestari Moerdijat, Wakil Ketua Dewan Pakar Pieter Gontha dan Syahrul Yasin Limpo, Sekjen Dewan Pakar Hayono Isman, Wakil Sekretaris Umum Sonny Y Soeharso, serta anggota Dewan Pakar lainnya.
Ada pula pengamat politik seperti J Kristiadi, Arya Fernandes, Umbu Pauta, Noory Okhtariza, Phillips J Vermonte, Ray Rangkuti, dan Hamdi Muluk. Diskusi digelar secara hybrid. Online dan offline.
Ketua Dewan Pertimbangan Nasdem Siswono Yudo Husodo mengungkapkan, ide konvensi sebenarnya muncul sudah lama. Tepatnya sejak Pilpres selesai tahun lalu.
’’Niat konvensi ini sangat baik dan patut dihargai untuk mencari putra terbaik. Peran partai ini kan sangat strategis, maka tugasnya adalah mencari putra terbaik dengan cara konvensi,’’ kata Siswono.
Siswono lebih jauh menjelaskan, kalau partai mencari pemimpin terbaik dan rakyat juga mencari pemimpin yang terbaik, maka akan tercipta primus interpares. Yaitu sistem pemilihan seorang pemimpin yang cara pelaksanaannya berdasarkan musyawarah dengan berbagai kriteria unggul yang harus dimiliki.
’’Menghasilkan orang yang baik-baik di antara orang yang baik-baik,’’ kata Siswono.
Namun, kata Siswono, konvensi Nasdem ini tidak mudah. Pertama, adanya ketentuan presidential threshold (PT) 20 persen. PT adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.
Pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan parpol atau gabungan parpol yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Dari ketentuan ini partai politik yang bisa mengajukan sendiri capes dan cawapres hanya PDIP. Partai-partai lain, termasuk Nasdem, harus berkoalisi. Ini artinya, parpol yang dinakhodai oleh Surya Paloh ini harus berkoalisi dulu sebelum menggelar konvensi.
’’Membuat koalisi sebelum pemerintahan ini selesai sulit sekali. Dinamika politiknya juga sangat tinggi. Peta politik seringkali berubah. Peserta koalisi bisa keluar pada detik-detik terakhir. Perlu ada perjanjian dan konsekuensi bagi peserta koalisi yang keluar,’’ kata Siswono.
Kesulitan lainnya adalah masing-masing parpol punya jago sendiri. PDIP dan Gerindra sudah pasti punya calon sendiri. Partai-partai menengah juga sudah punya calon sendiri. Partai Demokrat mengusung AHY, PKB usung Cak Imin.
’’Kemungkinan Nasdem bisa berkoalisi dengan Golkar,’’ ujar Siswono.
Siswono menjelaskan, dalam konvensi ini perlu dibuat aturan umum dan khusus. Kalau aturan umum sudah jelas. Warga negara Indonesia dan berusia di atas 40 tahun. Sedangkan aturan khususnya misalnya memiliki kapabilitas. Selain itu perlu mempertimbangkan pula ideologi dan finansial.
Sulitnya koalisi ini juga dinyatakan pengamat politik dari Unpad Tengku Reza.
’’Konvensi memang bisa menjadi ciri modern partai Nasdem. Namun pelaksanaannya tidak mudah. Tapi tradisi ini harus dimulai. Ini sekaligus bisa menjadi pemanasan politik. Untuk sementara bisa mencari dari kader sendiri dulu,’’ kata dia.
Peluang Sama
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pakar Nasdem yang juga Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menekankan kepada pentingnya edukasi kepada civil society yang baik dan jangan ada lagi politik dagang sapi.
"Perlu ada regulasi dari awal untuk sampai ke tujuan," kata pria yang biasa disapa SYL.
SYL menyarankan perlunya kelembagaan yang menjaring capres-cawapres di luar sistem, sehingga rakyat bisa melihat proses konvensi secara objektif.
Seleksi rekrutmen, lanjut SYL, perlu dipikirkan sejak awal. Supaya budget besar yang dikeluarkan menghasilkqn sesuatu yang besar pula.
Sedangkan Ketua Majelis Tinggi Partai Nasdem yang biasa disapa Mbak Riri lebih menekankan kepada chemistry ketika melakukan koalisi.
"Kita perlu berkoalisi dengan partai yang memiliki ideologi sama. Perlu dipikirkan pula bagaimana caranya agar koalisi ini tidak hanya Jawa dan Islam, sehingga ada peluang yang sama," tambah Mbak Riri.
Langkah Terobosan
Pengamat politik dari CSIS, J Kristiadi mengaku senang dengan rencana Nasdem menggelar konvensi. Langkah ini merupakan sebuah terobosan.
Namun, di sisi lain, dia juga merasa sedih jika konvensi ini menjaring dari luar. Ini artinya partai ini tidak mampu mencetak kadernya sendiri. Partai hanya sibuk administrasi tapi lupa membina kader sendiri.
Kristiadi juga menyampaikan bahwa obsesi Nasdem membuat konvensi ini harus ada rambu-rambu pengamannya ketika berkoalisi nanti. Jangan sampai koalisi ini kandas di tengah jalan.
Sedangkan pengamat politik Arya Fernandes mengatakan bahwa dalam konvensi dan seleksi kepemimpinan mensyaratkan adanya pencalonan yang terbuka, demokratis, dan kompetitif.
Selain itu, terbukanya ruang kontestasi yang partisipatoris, meningkatnya loyalitas kader dan pemilih partai, serta terbentuknya party-id yang kuat.
Konvensi ini pun harus memberi efek kepada partai. Efek itu bisa berupa perolehan suara partai, berefek terhadap terbentuknya koalisi, serta terbangunnya narasi positif dalam seleksi kepemimpinan nasional.
’’Kita bisa belajar dari konvensi sebelumnya, baik dari partai Golkar maupun partai Demokrat. Dari Golkar kita bisa belajar soal potensi pembelian suara dan konvensi berbiaya mahal. Dan dari Demokrat kita bisa belajar soal kegagalan konvensi karena kesulitan memenuhi syarat pencalonan dan perubahan arah politik Ketua Umum,’’ pesan Arya.
Arya juga menyampaikan mengenai lima dimensi dalam pelaksanaan konvensi. Pertama soal pencalonan. Siapa nanti yang bisa mencalonkan diri? Semua orang atau hanya kader. Lalu, bagaimana syarat pencalonannya? Kedua soal hak pilih. Siapa yang memiliki hak pilih. Apakah semua orang, kader, atau pengurus partai. Lalu, siapa peserta konvensi? Ketiga soal proses pemilihan.
Bagaimana proses pemilihannya? Terpusat atau terdesentralisasi. Bagaimana tata tertib dibuat? Siapa yang membuat tatib? Dan lain-lain. Keempat soal metode penetapan. Bagaimana mekanisme penetapan? Berjenjang atau terpusat? Kelima soal prosedur pemilihan. Bagaimana menentukan formula pemilihan?
Sedangkan pengamat politik Umbu Rauta menyoroti dua hal. Pertama bagaimana melihat konvensi ini dalam landasan filosofis dan konstitusional.
Konvensi secara filosofis merupakan prinsip demokrasi dan bentuk kedaulatan rakyat. Sedangkan secara konstitusional merupakan prinsip negara berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945.
Pasal 22E ayat (1): Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 28D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Kedua, area pengisian jabatan politik. Untuk areal parpol atau gabungan parpol, Umbu berpesan bahwa konvensi jangan hanya sekadar formalitas. Tapi, harus benar-benar mencari pemimpin terbaik.
’’Memang perlu disusun tentang alasan konvensi, sasaran, azas, unsur konvensi, peserta, tahapan, indikator, dan lain-lain,’’ kata Umbu.
Pengamat politik Phillips J Vermonte juga sangat mendukung rencana konvensi partai Nasdem.
Jika Nasdem duluan menggelar konvensi, kemungkinan partai lain akan mengikuti. Dia berpesan agar Nasdem bisa menjamin adanya loyalitas dari partai-partai. Termasuk loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi.
’’Kalau partai lain tidak melihat adanya itu (loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi), mereka (partai-partai) tidak akan ikut. Kegagalan konvensi Golkar dan Demokrat harus menjadi pembelajaran berharga,’’ kata Phillips.
Definisi Konvensi
Pengamat politik Ray Rangkuti mengusulkan perlunya membuat definisi yang tepat terhadap konvensi dan implikasinya. Apakah konvensi capres, konvensi capres dan cawapres, atau konvensi capres dan atau cawapres.
’’Ini penting supaya publik ada kejelasan. Juga perlu ada ikatan supaya calon atau parpolnya tidak keluar koalisi selama dua tahun,’’ kata Ray.
Sementara itu, pakar psikologi politik Hamdi Muluk menyoroti dua hal. Pertama, apakah UU No 7 tahun 2012 akan direvisi? Jika target Nasdem seperti itu, hal ini harus didudukkan terlebih dulu. Sebab, masalah ini pernah dibawa ke Mahmakah Konstitusi (MK) tapi kandas.
Itu yang pertama. Yang kedua, kata Hamdi, konvensi Nasdem ini harus dibaca publik jauh dari politik dagang sapi.
Ketiga, koalisinya harus dipastikan jika ambang batas penentuan Presiden masih belum direvisi. Ketiga, membuat logika terbalik. Cari calon dari luar dulu yang terbaik supaya menjadi daya tarik parpol untuk datang.
Niat Baik
Sekjen Dewan Pakar Hayono Isman gembira melihat rencana konvensi ini mendapat apresiasi positif dari para pembicara. Memang, kata Hayono, niat konvensi ini memang mulia. Ketua umum Nasdem sudah pasti tidak akan mau maju. Nasdem ingin cari tokoh dari luar.
"Jika SP (Surya Paloh) tidak mau maju pasti kader yang lain juga tidak akan maju,’’ kata Hayono.
Secara empiris politik yang terkuat hari ini pasangan dari Gerindra-PDIP. Ini sepertinya satu paket. Tapi, yang terkuat, kata Hayono, belum tentu mampu mengalahkan underdog seperti terjadi pada pilpres 2014. Apakah ini akan terulang?