Revisi Undang-undang BPK Dinilai Belum Perlu Dilakukan Saat Ini
Lebih lanjut, Uchok mengatakan jika mau merevisi UU BPK maka harus obyektif berdasarkan kebutuhan kelembagaan BPK.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Center for Budget Analysis (CBA) menentang keras rencana revisi Undang-undang (UU) No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Diduga kuat, revisi hanya menguntungkan kelompok tertentu.
Demikian dikemukakan Direktur Eksekutif CBA Uchok Sky Khadafi dalam keterangannya, Kamis (19/11/2020).
Menurut Uchok, revisi UU BPK saat ini tidak terlalu urgent.
Apalagi, usulan revisi UU BPK yang bersifat parsial dan tidak komprehensif.
Baca juga: Kemendikbud Gandeng BPKP dan BPK Pastikan Penyaluran Bantuan Subsidi Bagi Pendidik Tepat Sasaran
Hal ini justru merusak marwah BPK sebagai auditor negara.
Karena itu, usulan revisi ini harus ditolak.
“Saya kira, usulan revisi UU BPK ini harus dicegah dan jangan sampai lolos,” tuturnya.
Adapun empat point usulan revisi yakni batas usia menjadi anggota BPK ditulis 70 tahun, periodeisasi 2 kali seperti tertuang dalam UU BPK dihilangkan, anggota BPK dipilih secara collective collegial dan BPK boleh mengelola anggaran sendiri.
Uchok menilai, substansi revisi UU BPK yang hanya terkait 4 point tidak penting-penting amat.
Ini berdampak tidak ada kemajuan bagi BPK ke depan.
Apalagi, kalau periodesasi 2 dihapus.
Padahal, pembatasan 2 periode ini dibuat untuk membatasi kekuasan.
Berdasarkan Pasal 5 (1) UU Tentang BPK disebutkan Anggota BPK memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.