Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Mendagri Tak Bisa Langsung Copot Kepala Daerah Hanya karena Melanggar Protokol Kesehatan Covid-19

Instruksi Mendagri soal pencopotan kepala daerah pelanggar protokol kesehatan Covid-19 dinilai gegabah dan berlebihan.

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Dewi Agustina
zoom-in Mendagri Tak Bisa Langsung Copot Kepala Daerah Hanya karena Melanggar Protokol Kesehatan Covid-19
KompasTV
Yusril Ihza Mahendra. (KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian soal pencopotan kepala daerah pelanggar protokol kesehatan Covid-19 dinilai gegabah dan berlebihan.

Sebagai Mendagri, Tito dinilai tak bisa serta merta mencopot jabatan kepala daerah seperti gubernur.

Kepala daerah bisa saja dicopot hanya jika melakukan pidana, itu pun setelah melalui prosedur panjang.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra berpandangan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona yang ditujukan bagi kepala daerah agar disiplin menerapkan protokol kesehatan di wilayahnya masing-masing, tak bisa dijadikan dasar memecat kepala daerah.

"Apakah Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 dapat dijadikan dasar memberhentikan Kepala Daerah yang tidak melaksanakan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan penegakan Protokol Kesehatan dalam menghadapi Pandemi Covid 19? Jawabannya tentu saja tidak," kata Yusril dalam keterangannya, Jumat (20/11/2020).

Baca juga: Politikus PKS Kritik Instruksi Mendagri soal Pemberhentian Kepala Daerah

Menurut Yusril, Inpres, Instruksi Menteri merupakan perintah tertulis dari atasan kepada jajaran yang berada di bawahnya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Sehingga, jika Inpres apalagi Instruksi Menteri dilanggar, tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran Undang-undang, yang bisa dijadikan dasar pemberhentian, sesuai pasal 78 UU Nomor 23 tahun 2014.

Berita Rekomendasi

"Di UU No 15 Tahun 2019 sudah tidak mencantumkan lagi Inpres sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan," jelas Yusril.

"Bahwa di dalam Instruksi Mendagri No 6 Tahun 2020 itu ada ancaman kepada Kepala Daerah yang tidak mau melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Penegakan Protokol Kesehatan, hal itu bisa saja terjadi. Namun proses pelaksanaan pemberhentian Kepala Daerah itu tetap harus berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," lanjut dia.

Lebih lanjut, Yusril menjelaskan, merujuk pada UU Pemda, kepala daerah saat ini dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada. Paslon yang menjadi kepala daerah ditetapkan oleh KPU.

Menurut Yusril, paslon yang ditetapkan KPU sebagai pemenang pilkada tidak dapat dipersoalkan, apalagi ditolak oleh Pemerintah.

"Dengan demikian, Presiden tidaklah berwenang mengambil inisiatif memberhentikan Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Mendagri juga tidak berwenang mengambil prakarsa memberhentikan Bupati dan Wali kota beserta wakilnya," kata Yusril.

Yusril menjelaskan, semua proses pemberhentian Kepala Daerah, termasuk dengan alasan melanggar Pasal 67 huruf b jo Pasal 78 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf d yakni tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan Penegakan Protokol Kesehatan, tetap harus dilakukan melalui DPRD.

Baca juga: Haji Lulung Protes Baliho Miliknya Berisi Kampanye Disiplin Protokol Kesehatan Ikut Dicopot TNI

"Jika ada DPRD yang berpendapat demikian, mereka wajib memulainya dengan melakukan proses pemakzulan (impeachment)," kata Yusril.

Jika DPRD berpendapat cukup alasan bagi Kepala Daerah untuk dimakzulkan, maka pendapat DPRD tersebut wajib disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk dinilai dan diputuskan apakah pendapat DPRD itu beralasan menurut hukum atau tidak.

Bahkan, kata Yusril, demi alasan keadilan, kepala daerah yang akan dimakzulkan itu diberi kesempatan oleh Mahkamah Agung untuk membela diri.

"Jadi, proses pemakzulan itu akan memakan waktu lama, mungkin setahun mungkin pula lebih. Apa yang jelas bagi kita adalah Presiden maupun Mendagri tidaklah berwenang memberhentikan atau "mencopot" Kepada Daerah karena Kepada Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentiannya pun harus dilakukan oleh rakyat melalui DPRD," tegas Yusril.

Yusril juga menjelaskan, kewenangan Presiden dan Mendagri hanyalah sebatas melakukan pemberhentian sementara tanpa proses.

Hal ini bisa terjadi jika diusulkan oleh DPRD karena kepala daerah yang bersangkutan terkena ancaman pidana di atas lima tahun, didakwa melakukan korupsi, makar, terorisme, atau kejahatan terhadap keamanan negara.

"Kalau dakwaan tidak terbukti dan Kepala Daerah tadi dibebaskan, maka selama masa jabatannya masih tersisa, Presiden dan Mendagri wajib memulihkan jabatan dan kedudukannya," ujar dia.

Senada dengan Yusril, pakar hukum tata negara yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari mengatakan, Mendagri tidak dapat memberhentikan kepala daerah jika terkait dengan urusan Covid-19.

"Mendagri hanya dapat memberhentikan kepala daerah jika kepala daerah mengabaikan program strategis nasional, yaitu program pembangunan demi kesejahteraan nasional dengan melakukan 2 kali pemberhentian sementara dan setelah itu pemberhentian tetap berdasarkan Pasal 68 UU Pemda," ujar Feri, Jumat (20/11/2020).

"Namun untuk urusan penanganan kesehatan bukan termasuk urusan Mendagri. Mendagri tidak dapat memberhentikan kepala daerah terkait urusan Covid-19," imbuhnya.

Baca juga: Instruksi Mendagri Soal Protokol Kesehatan Bukan Fasilitas Hukum Pemberhentian Kepala Daerah

Berdasarkan UU 23 tahun 2014 tentang Pemda, Feri menjelaskan bahwa DPRD dan Mahkamah Agung yang memiliki peran memberhentikan kepala daerah.

Pemberhentian kepala daerah itu pun, kata dia, harus melalui proses di DPRD yang dapat dimulai dari hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat.

Jika dalam paripurna menyatakan pendapat DPRD menghendaki kepala daerah diberhentikan Pasal 78 UU Pemda maka ketua DPRD mengajukan perkara pemberhentian itu kepada Mahkamah Agung (MA).

"Jika MA menyetujui pendapat DPRD maka kepala daerah berhenti," kata Feri.

Terkait instruksi penegakan prokes yang diungkap Tito, Feri mengatakan pada dasarnya instruksi tersebut tidak diperlukan karena isinya hanyalah pengulangan ketentuan dari UU Pemda saja.

"Makanya terdapat kata 'dapat' diberhentikan. Kata dapat dalam peraturan bermakna bisa iya dan bisa tidak. Tanpa ada instruksi itu peraturan pemberhentian memang sudah ada dan prosesnya panjang di DPRD dan MA," jelasnya.

Beda cerita, lanjutnya, jika ada kepala daerah yang terbukti melanggar UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Akan tetapi hal itu pun rumit dari segi pembuktian. Bahkan Mendagri pun disebut Feri bisa terkena pasal yang berada dalam UU tersebut.

"Kalau pakai Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan itu kan tidak hanya untuk kepala daerah saja, tapi unsurnya setiap orang. Mendagri bisa juga kena pasal itu," kata dia.

"Tapi membuktikan unsur pasal itu kan tidak mudah, karena harus ada akibatnya yaitu timbulnya darurat kesehatan dalam arti menyebarluasnya penyakit. Pertanyaannya, apakah dari kerumunan kemarin timbul darurat kesehatan, buktinya apa?" ujar Feri.

Sementara pakar otonomi daerah, Djohermansyah Djohan mengatakan, kepala daerah bisa saja diberhentikan jika tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah.

"Tidak bisa langsung dicopot, kalau langsung dicopot bahaya sekali karena kepala daerah itu dipilih oleh masyarakat," kata Djohermansyah.

Pencopotan kepala daerah langsung, kata Djohermansyah hanya merugikan masyarakat. Kata dia, pemilihan kepala daerah menggelontorkan biaya yang tidak sedikit.

"Jadi kalau dicopot sayang sekali, rugi sekali negara ini membayar pesta demokrasi selama ini," beber dia.

Djohermansyah menuturkan bahwa pencopotan kepala daerah hanya dapat dilakukan ketika ia melakukan pidana.

Hal ini tertuang dalam Undang Undang nomor 23 tahun 2014 yakni seorang kepala daerah yang melakukan pidana akan diberhentikan sementara.

"Misalnya ia melakukan korupsi, dengan statusnya itu dia akan diberhentikan sementara sampai dengan kasus hukum inkrah," jelas Djohermansyah.

Selanjutnya, jika kepala daerah sudah menyelesaikan kasus hukumnya, ia masih harus dikembalikan ke pemerintah pusat untuk dibina. Di sana kepala daerah akan diberi wawasan pasca kasus hukum yang dihadapi.

"Istilah disekolahkan lagi ditarik sama pemerintah pusat untuk dilakukan pembinaan. Karena itu tanggung jawab pemerintah pusat untuk menjaga marwah pemimpin daerah," beber Djohermansyah.

Kemudian jika kepala daerah kembali melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, maka akan diberikan sanksi bertahap. Seperti sanksi kebanyakan, kepala daerah akan mendapat sanksi teguran lisan dan teguran tertulis.

"Baru setelahnya dikenakan pencopotan atau pemberhentian. Ini tidak melalui DPRD lagi karena prosedurnya sudah panjang," jelas dia.

"Ini dapat saya katakan karena saya termasuk yang menyusun UU nomor 24 itu, jadi tidak bisa ditafsirkan secara parsial undang undang tersebut," lanjut dia.

Menanggapi kasus pelanggaran protokol kesehatan di masa Covid-19 yang termaktub dalam instruksi Tito, Djohermansyah beranggapan belum ada aturan yang pas untuk dikenakan kepada kepala daerah.

Pidana juga belum bisa dijatuhkan kepada kepala daerah yang dianggap tidak mengikuti protokol kesehatan tersebut.

"Sampai sekarang kan masih jadi perdebatan. Kalau kepala daerah melanggar pidana, lantas pidana apa yang dilakukan oleh kepala daerah sehingga harus dicopot?" ujarnya.(tribun network/sen/dit/dod)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas