Martini, TKW Asal Sukabumi Berjuang Cari Perlindungan Saat Ditipu Agensi ke Libya
Karena ia sempat mewanti-wanti agensi untuk tidak membohonginya dan pemberangkatannya legal bukan ilegal.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Hendra Gunawan
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA—Kehilangan ayah tercinta membuatnya harus menjadi tulang punggung atau kepala keluarga. Ditambah lagi sang ibu sakit-sakitan, mendesaknya total bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Di tengah kondisi itu, Martini bertemu seorang sponsor Penyalur Tenaga Kerja ke Luar Negeri di kampungnya di Sukabumi.
“Saya menanyakan, apakah ada kerjaan tapi yang legal. Dia bilang ada dan saya dibawa ke sana, ke tempat itu, namanya Ibu Yolanda, saya nggak tahu dia itu calo atau agen,” tutur Martini dalam Konferensi pers Virtual: Quo Vadis Perlindungan Perempuan Buruh Migran Indonesia, seperti disiarkan di Channel Youtube Solidaritas Perempuan, Senin (23/11/2020).
“Ini TKI Mandiri. Tenang aja, nggak bakalan ada apa-apa,” dia mengulangi ucapan Yolanda saat itu.
Baca juga: Keluarga TKW Indramayu Putuskan Ruri Dimakamkan di Malaysia, Ini Alasannya
Martini menanyakan pekerjaan sebagai waitress kepada Yolanda.
Gayung bersambut, Martini pun memutuskan untuk mau bekerja ke luar negeri di bawah penyalur tenaga kerja yang direkomendasikan Yolanda. Saat itu Martini ingin berangkat dan bekerja sebagai waitress ke Turki.
“Singkat cerita saya berangkat dengan lima orang TKI. Saat itu saya berangkat dari Bandara Soekarno (Jakarta) ke Batam menumpang pesawat. Dari Batam, saya ke Malaysia memakai kendaraan kapal Feri.”
“Di Malaysia, saya tiga hari di situ. Katanya sih tunggu tiket untuk ke Turki. Setelah tiga hari, saya dikirim ke Turki,” kisahnya.
Baca juga: Kisah Pilu TKW Asal Indramayu: Meninggal di Malaysia & Agen Minta Rp 32 Juta untuk Pulangkan Jenazah
Bukan Ke Turki Tapi Ke Libya
Di Turki, ia mulai menyadari ada sesuatu yang ganjil terjadi. Berawal saat tiba di Turki, Martini bukannya dijemput oleh pemilik restoran seperti dijanjikan waktu masih di Indonesia.
Ia bukan langsung bekerja. Malah, Martini ditempatkan di suatu rumah selama kurang lebih 10 hari.
“Di situ dikunci. Nggak bisa apa-apa lah. Pokoknya nggak bisa keluar. Cuma makan dan minum. Di situ ada banyak orang,” kenangnya.
Ia semakin merasa ada sesuatu yang tidak benar. Setelah sepuluh hari “dikurung”, Martini dikirim ke Libya. Ini bukan negara tujuan penempatan kerjanya sesuai kontrak yang disepakati di Indonesia, sebelum berangkat.
Setibanya di Libya, dia tidak menemukan ada jaringan internet di kantor tempat penampungan sementara. Bahkan ia tidak bisa menghubungi keluarga karena tidak boleh pakai handphone (Hp). Beli kartu Hp pun susah.
Martini menuju ke kantor agensi di Libya untuk menanyakan pekerjaan apa yang akan ia lakukan. Setelah mendengar jawaban dari pekerja di kantor itu, Martini kesal karena telah ditipu.
“Saya bingung di Libya. Saya pergi ke kantornya. Saya tanya lah sama orang di sana, kerjaannya apa.”
“Terus dia bilang begini, ‘emang kamu nggak dikasih tahu sama sponsor?’ Saya tahunya sebagai waitress. Dia bilang sebagai Asisten Rumah Tangga (ART). Itu katanya sudah ada dalam surat kontrak di situ,” tuturnya.
Ia pun menolak pekerjaan tersebut karena tidak sesuai dengan bidang yang ia cari dan sepakati saat di tanah air bersama badan penyalur tenaga kerja luar negeri yang memberangkatkannya.
“Saya nggak mau. Saya katakan, ‘saya bukan mencari kerja menjadi PRT (pembantu rumah tangga). Tapi saya mau menjadi waitress. PRT itu tidak sesuai kontrak.”
“Saya nggak mau tanda tangan kontrak itu,” kisahnya.
Jauh dari negera sendiri dan tidak memiliki alat komunikasi, membuatnya terpuruk di negeri orang yang kemudian baru ia ketahui tidak termasuk negara ujuan bagi para buruh migran yang diatur dalam Undang-undang.
Seakan doanya terjawab, setelah dua hari, ada seorang pencari tenaga kerja datang untuk mencari pekerja untuk merapikan toko Kitchen Set. Dia pun mengamini tawaran itu, meskipun tidak dibayar, yang penting bisa berinternet.
“Saya bilang begini sama orang itu, saya maunya itu hanya internet. Soalnya saya belum menghubungi ibu saya yang lagi sakit. Merasa iba, ayahnya bilang ya sudah,” ucapnya.
Dari situlah, ia mulai melaporkan kasus yang ia alami ke KBRI dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Saat melapor ke KBRI, Martini mengaku sempat kecewa dengan respon dari petugas yang menerima laporannya. “Pihak KBRI cuman bilangnya gini, ‘Ya sudah mbak, katanya kerja saja kali aja rezeki lo itu. Kalau misalnya mau jadi ART nggak mungkin saya melapor ke KBRI. Sudahlah kalau nggak mau bantu,” tegasnya.
Respon baik ia terima saat melapor ke SBMI. Ia ditanya berada di mana.
Dari SMBI, ia baru mengetahui dia berada di negara yang dilarang menjadi tempat tujuan buruh migran.
Terima Ancaman dan Pukulan
Tahu dirinya ditipu,Martini pun memarahi sponsor yang memberangkatkannya ke luar negeri melalui sambungan telepon. Pihak sponsor malah tetap membujuknya untuk mencoba bekerja di Libya.
Ia terus berjuang untuk bisa kembali ke tanah air, meskipun jalan yang harus ditempuhnya berat dan berliku. Ia sempat harus dititipkan dari orang yang satu ke yang lainnya selama di Libya.
Bahkan ia harus menerima tekanan dan pukulan sampai berdarah dari pihak kantor di Libya.
“Akhirnya saya dapat pukulan sampai berdarah. Kata dia, ‘kamu kalau nggak mau nurut sama saya, kamu saya pukul terus,” ucapnya mengulang ancaman dari orang di kantornya di Libya.
Ancaman ini tidak membuat niatnya pulang ke Indonesia luntur.
Setelah hampir dua bulan berlalu dan menanti, akhirnya Martini bisa pulang ke Indonesia.
Setibanya di tanah air, Martini masih melanjutkan perjuangannya untuk memperjuangkan hak-haknya karena telah dibohongi oleh agensi yang telah memberangkatnya ke Libya.
Karena ia sempat mewanti-wanti agensi untuk tidak membohonginya dan pemberangkatannya legal bukan ilegal.
Ia melaporkan kasus yang dialaminya ke Bareskrim Polri. Selama persidangan digelar Martini didampingi Seknas Solidatitas Perempuan dan SBMI.
“Alhamdulillah akhirnya Yolanda itu dihukum 5 tahun, dengan denda dan harus bayar restitusi (untuk dirinya-red),” ucapnya.
Usai persidangan, kabar mengenai pembayaran restitusi tidak juga terealisasi. Hingga akhirnya SBMI dan Solidaritas Perempuan mengirim surat ke Pengadilan, untuk pengajuan restitusi.
Ia mengaku hingga saat ini surat pengajuan restitusi sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh migran, seperti yang ia ajukan belum juga mendapat jawaban.
Ia malah menjadi kecewa karena disalah-salahkan karena status TKI Mandiri dari keberangkatannya bekerja ke luar negeri.
“Katanya TKI Mandiri ini diperbolehkan, sedangkan pemerintah itu tidak memberitahu TKI Mandiri jalannya itu sepertiapa step by stepnya. Kok malah nyalah-nyalahin kita. Mosok katanya, ‘emang kamu nggak tahu katanya itu legal atau ilegal? Ya mana tahu, kalau misalnya TKI Mandiri itu step by stepnya bagaimana ,” jelasnya.
Bercermin pada kasus yang ia alami, Martini berharap pemerintah bisa membenahi cara kerjanya untuk memberikan perlindungan terhadap buruh migran khususnya TKI Mandiri. Khususnya pemerintah harus lebih mensosialisasikan step by step cara pengurusannya agar legal. Sehingga tidak akan terulang lagi kasus yang ia alami terlunta-lunta di negara orang dan mengalami penyiksaan serta tidak mendapat perlindungan dari pemerintah.(*)