Serikat Buruh Harus Beri Solusi Kekosongan Hukum Jika UU Cipta Kerja Diputuskan Inkonstitusional
Saldi Isra meminta pemohon dalam perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 turut menawarkan solusi hukum jika UU Cipta Kerja pada akhirnya dinyatakan inkonstit
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Konstitusi Saldi Isra meminta pemohon dalam perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 turut menawarkan solusi hukum jika UU Cipta Kerja pada akhirnya dinyatakan inkonstitusional.
Sebab Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyidangkan gugatan serikat buruh terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tidak mau mengabulkan sebuah permohonan dengan alasan ketidakpastian hukum, tapi berdampak pada memunculkan ketidakpastian hukum baru.
Mengingat para pemohon dalam petitumnya meminta majelis menyatakan sejumlah aturan di UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Kalau memang nanti ada yang dikabulkan lalu memunculkan kekosongan hukum, apa yang harus dilakukan. Karena bagaimanapun Mahkamah tidak ingin mengabulkan permohonan karena alasan ketidakpastian hukum, lalu menciptakan ketidakpastian hukum baru," kata Saldi dalam sidang yang dilakukan daring di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (24/11/2020).
Saldi menjelaskan permohonan pemohon yang meminta sejumlah aturan UU Cipta Kerja inkonstitusional bisa berdampak pada kekosongan norma. Lantaran produk hukum yang lama sudah dicabut dan digantikan dengan ketentuan dalam UU Cipta Kerja.
Bila sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja diminta dinyatakan inkonstitusional, maka dampaknya tidak ada hukum yang mengatur persoalan yang gugatannya dikabulkan.
"Makanya harus ditawarkan juga apa jalan keluar yang mestinya dilakukan kalau ini dikabulkan," ujar dia.
"Itu sisi lain yang harus diperhatikan betul oleh pemohon dan kuasa hukumnya, agar kami bisa diberi pengayaan masing - masing pasal itu mengapa dia dinyatakan bertentangan dengan konstitusi," imbuhnya.
Baca juga: Majelis Panel MK Beri Masukan ke Permohonan Uji Materi UU Cipta Kerja dari KSPI
Adapun perkara nomor 101/PUU-XVIII/2020 tersebut diajukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan Reformasi (FSP. Faskes-R), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), hingga pekerja tetap, pekerja kontrak, dan pekerja alih daya.
Dalam permohonan ini, pemohon mencantumkan 92 petitum. Secara garis besar, pemohon menyoal 12 poin utama.
Meliputi persoalan Lembaga Pelatihan Kerja, Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja, Tenaga Kerja Asing, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Pekerja Alih Daya, Waktu Kerja, Cuti, Upah, Pemutusan Hubungan Kerja, Uang Pesangon (UP), Penghargaan Masa Kerja (PMK), Uang Penggantian Hak (UPH), Penghapusan Saksi Pidana, dan Jaminan Sosial.
Terdapat 3 Pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang digugat, antara lain Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83.
Salah satu yang digugat yaitu frasa "Alih Daya" dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata Alih dan Daya merupakan kata sendiri - senfiri, dengan Alih berarti pindah atau ganti, dan Daya berarti kemampuan melakukan sesuatu atau kemampuan bertindak.
Bila digabungkan, pemohon menilai dalam konteks hubungan kerja Alih Daya diartikan sebagai menukar atau mengganti pekerja yang berstatus tetap dengan pekerja dari perusahaan alih daya. Alias frasa itu bisa memunculkan perbudakan modern, perdagangan manusia untuk dipekerjakan orang lain.
Menurut pemohon diubahnya pasal UU Ketenagakerjaan berpotensi menciptakan perbudakan zaman modern kepada pekerja karena syarat tentang jenis dan sifat pekerjaan yang sebelumnya diatur dalam pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan telah dihapus melalui UU Cipta Kerja.