Perjanjian RCEP sebagai Katalis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia yang Berkualitas
RCEP merupakan kesepakatan trading block terbesar di dunia, yang meliputi 30% dari PDB dunia, 27% dari perdagangan dunia
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah 15 negara anggota RCEP yang terdiri dari 10 negara ASEAN dan 5 negara mitra FTA (Cina, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru), telah menanda tangani Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) RCEP ke-4 pada tanggal 15 November 2020, setelah selama 8 tahun melakukan perundingan.
RCEP merupakan kesepakatan trading block terbesar di dunia, yang meliputi 30% dari PDB dunia, 27% dari perdagangan dunia, 29% dari investasi asing langsung, dan 29% dari populasi dunia. Meskipun India pada akhirnya memutuskan untuk tidak bergabung, RCEP tetap menjadi perjanjian perdagangan terbesar di dunia, di luar WTO.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyambut baik penandatangan perjanjian RCEP oleh 15 negara tersebut, di mana gagasan awal pembentukan RCEP di-inisiasi oleh Indonesia, ketika Indonesia menjadi Ketua ASEAN pada tahun 2011. Menko Perekonomian yakin dengan ditandatanganinya RCEP maka ini akan menjadi langkah penting bagi Indonesia untuk lebih terintegrasi dalam Global Value Chain.
Setelah ditandatanganinya perjanjian RCEP pada 15 November 2020, maka RCEP dapat mulai diimplementasikan setelah minimal 6 negara anggota ASEAN dan 3 negara Mitra FTA ASEAN menyelesaikan proses ratifikasi.
“Setiap Kementerian dan Lembaga terkait harus terus berbenah diri untuk meningkatkan daya saing Indonesia. Dengan demikian, dunia usaha dapat menikmati RCEP ketika perjanjian ini mulai diimplementasikan,” ujar Airlangga.
Menko Perekonomian juga menyampaikan apresiasi terhadap Tim Perunding RCEP Indonesia yang telah berhasil menyelesaikan perundingan dengan baik dan memimpin perundingan dalam 8 tahun terakhir, sebagai Ketua Tim Perunding RCEP (Trade Negotiating Committe Chair).
“Indonesia adalah negara inisiator dan koordinator Perundingan RCEP, baik itu dalam kaukus ASEAN maupun dengan negara mitra sejak awal perundingan RCEP. Kita harus memberikan apresiasi kepada Tim Perunding Indonesia, yang sudah bekerja keras dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi Indonesia,” tutur Menko Airlangga.
Negara anggota RCEP memiliki arti yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Dengan semakin terintegrasinya perekonomian Indonesia dengan 10 negara ASEAN dan 5 negara mitra FTA-nya, kelima belas negara anggota RCEP tersebut telah menjadi pasar tujuan ekspor (57%) dan sumber impor (67%) utama bagi Indonesia pada tahun 2019.
Negara anggota RCEP juga merupakan sumber utama aliran investasi asing (FDI) ke Indonesia. Pada tahun 2019, 66% FDI yang masuk ke Indonesia berasal dari negara anggota RCEP dimana Singapura, Cina, Jepang, Malaysia dan Korea Selatan merupakan Investor utama di Indonesia.
Perjanjian RCEP merupakan konsolidasi lebih lanjut dari perjanjian FTA ASEAN+1 yang sudah ada, dengan karakteristik yang modern, komprehensif, berkualitas tinggi dan saling menguntungkah bagi seluruh negara anggota RCEP.
RCEP akan memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia yakni: (i) menciptakan peluang bagi industri Indonesia dalam memanfaatkan Regional Production Networks dan Regional Value Chain di Kawasan, (ii) meningkatkan daya saing Indonesia di kawasan, (iii) memperluas akses pasar untuk produk ekspor Indonesia, dan (iv) meningkatkan aliran investasi FDI ke dalam negeri.
“Indonesia harus memanfaatkan peluang yang ditawarkan RCEP, dengan akses pasar bagi produk ekspor Indonesia yang akan semakin terbuka, industri nasional akan semakin terintegrasi dengan jaringan produksi regional, dan semakin terlibat dalam mata rantai regional dan global. Dan tentunya, hal tersebut akan menarik lebih banyak investasi ke dalam negeri” ujar Menko Airlangga.
Pemanfaatan RCEP di Indonesia akan didukung oleh pembenahan iklim usaha dan investasi, melalui Omnibus Law UU Cipta Kerja. Omnibus Law dapat mengatasi permasalahan perizinan yang rumit dengan banyaknya regulasi pusat & daerah (hiper-regulasi), yang menyebabkan disharmoni, tumpang tindih, tidak operasional, dan sektoral.
Omnibus Law merupakan langkah penting bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing dunia usaha, tidak hanya untuk di dalam negeri, tetapi juga untuk menghadapi persaingan dengan perusahaan luar negeri di era perekonomian global saat ini.
Menko Airlangga menambahkan “Pembenahan iklim usaha dan investasi tersebut sangat diperlukan dalam meningkatkan daya saing Indonesia, untuk memastikan pemanfaatan implementasi perjanjian RCEP melalui perbaikan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) dan Global Competitiveness Index,” pungkas Menko Airlangga.(*)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.