Hinca Minta Kapolri Tak Anggap Laporan Amnesty International Indonesia Sebagai Angin Lalu
laporan Amnesty International Indonesia terkait aksi kekerasan polisi terhadap massa unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja, bukan informasi yang
Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Hinca IP Panjaitan menyakini laporan Amnesty International Indonesia terkait aksi kekerasan polisi terhadap massa unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja, bukan informasi yang abal-abal.
Menurutnya, laporan Amnesty International soal tindakan kekerasan polisi terhadap massa aksi demo, memang sudah disampaikan bebeberapa kali.
Namun, kali ini cukup lantang dengan mengatakan Kepolisian telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengkhawatirkan.
"Laporan dari Amnesty sangat terbuka, dan metodologi investigasi mereka juga saya yakini cukup komprehensif, dalam mengamati sejumlah bukti berupa rekaman video oknum aparat yang melakukan kekerasan dalam unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja," kata Hinca saat dihubungi, Jakarta, Kamis (3/12/2020).
Hinca melihat, proses verifikasi video tersebut salah satunya bekerjasama dengan Digital Verification Corps (DVC), yang dibentuk oleh Centre of Governance and Human Rights (CGHR) University of Cambridge.
"Artinya, apa yang disampaikan oleh Amnesty ini bukanlah informasi abal-abal, dan perlu untuk dijawab dan ditindaklanjuti oleh lembaga Polri dan juga Presiden," papar Hinca.
Baca juga: Mabes Polri Sebut Tindakan Represif Aparat saat Aksi Demo Mahasiswa di Samarinda Wajar
"Jadi sekali lagi saya ingin tegaskan, jangan sampai output dari investigasi Amnesty yang bekerjasama dengan DVC ini dianggap sebagai angin lalu," sambung Hinca.
Politikus Demokrat itu mengatakan, kegaduhan Omnibus Law UU Cipta Kerja sudah mengisi ruang diskusi tingkat global.
Apalagi, semakin diperparah dengan tindakan oknum aparat yang melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM.
"Kita bisa lihat bagaimana dunia internasional tengah memasang mata pada negara kita untuk soal Papua, dan hari ini kita juga tidak bisa tertidur nyenyak oleh sebab tindakan aparat yang telah dipantau oleh dunia internasional," papar Hinca.
Melihat kondisi tersebut, Hinca meminta Kepolisian untuk melakukan pembenahan di internal untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat.
"Apa penegak hukum di negara ini tidak bosan dan jenuh berada dalam ruang ketidakpercayaan publik? Saya sangat kecewa," ucapnya.
Hinca pun menyinggung anggaran Polri yang saat ini sudah meningkat cukup signifikan dalam enam tahun terakhir.
Pada 2014, Polri memiliki anggaran Rp 44 triliun, dan pada 2020 anggaran lembaga tersebut sudah menyentuh Rp 104,7 triliun.
"Kenaikan lebih dari Rp 60 triliun dalam 6 tahun adalah alasan kekecewaan saya atas temuan Amnesty ini. Harusnya penambahan anggaran yang besar itu juga menambah kebahagiaan dan meningkatkan rasa kemanusiaan para aparat," kata Hinca.
"Tapi ternyata itu belum terjadi. Kita akan terus evaluasi di Komisi III, jangan sampai ini akan menjadi preseden buruk yang terus dibiarkan," paparnya.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pihaknya telah memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan oleh polisi saat unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di berbagai daerah di Indonesia.
Insiden kekerasan dalam video tersebut terjadi dalam kurun 6 Oktober hingga 10 November 2020.
Usman mengatakan hasil verifikasi tersebut menunjukkan polisi di berbagai Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM yang sangat mengkhawatirkan.
"Ada banyak sekali video yang kami terima dan juga menunjukkan kesaksian terhadap kekerasan polisi yang saat itu terjadi dalam demonstrasi menentang undang-undang Omnibus. Ini insiden yang mengingatkan kita pada brutalitas aparat keamanan kepada mahasiswa di tahun 98 sampai 99 di masa-masa akhir presiden otoriter Soeharto," kata Usman.
Usman mengatakan setidaknya ada empat pola kekerasan yang dilakukan polisi.
Pertama, penggunaan alat yang tidak tepat di antaranya bambu, kayu, dan lainnya.
Kedua, penggunaan gas air mata dan water canon yang tidak tepat dalam pembubaran aksi terkait perintah pembubaran dan waktu yang diberikan kepada pengunjuk rasa untuk bubar.
Ketiga, penahanan incommunicado atau menutup akses komunikasi dari dunia luar.
Keempat, bentuk penyiksaan yang dinilai tidak manusiawi dan merendahkan martabat di antaranya ditelanjangi dan dipaksa berbaring di bawah matahari.