Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komisi III Minta Kapolri Tindaklanjuti Temuan Kekerasan Polisi Tangani Demo Tolak UU Cipta Kerja

Temuan Amnesty International Indonesia terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Polisi saat mengamankan demo UU Cipta Kerja harus ditanggapi.

Penulis: Seno Tri Sulistiyono
Editor: Theresia Felisiani
zoom-in Komisi III Minta Kapolri Tindaklanjuti Temuan Kekerasan Polisi Tangani Demo Tolak UU Cipta Kerja
Tribunnews/JEPRIMA
Massa aksi buruh dan Mahasiswa saat menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law di Patung Kuda, Jakarta Pusat, Kamis (22/10/2020). Pada aksi tersebut mereka menuntut agar Presiden Joko Widodo untuk menolak pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dianggap tidak berpihak kepada buruh. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Muhammad Nasir Djamil meminta Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis segera menindaklanjuti temuan Amnesty International Indonesia, terkait dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan Polisi terhadap massa unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja. 

"Ini catatan yang serius yang harus ditindaklanjuti, dievaluasi oleh Kepolisian Republik Indonesia, dalam hal ini Kapolri," ujar Nasir saat dihubungi, Jakarta, Kamis (3/12/2020).

Menurut Nasir, sebenarnya polisi sudah memiliki prosedur tetap (protap) dalam menangani aksi massa unjuk rasa dan idealnya aparat itu menjaga serta mengamankan massa dari pengacau. 

Aparat Kepolisian bersitegang dengan pendemo di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja berlangsung ricuh. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Aparat Kepolisian bersitegang dengan pendemo di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja berlangsung ricuh. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)

"Polisi itu menjaga, bukan bentrok dengan pengunjuk rasa. Jadi menurut saya ini serius (temuan Amnesty International), tidak boleh dianggap enteng, karena polisi adalah bagian dari masyarakat sipil," ucap politikus PKS itu. 

"Saya berharap pimpinan Kepolisian bisa mengevaluasi di daerah mana saja pelanggaran itu terjadi dan bagaimana besarannya, apakah besar, sedang atau kecil," sambung Nasir. 

Nasir menjelaskan, ada tiga penanganan polisi menghadapi massa unjuk rasa, di antaranya preemtif, preventif dan represif. 

Sejumlah massa aksi saat menarik kawat berduri pada unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat, Rabu (28/10/2020). Pada unjuk rasa kali ini mereka mendesak pemerintahan Jokowi dan Maruf Amin untuk mencabut UU Cipta Kerja. (Tribunnews/Jeprima)
Sejumlah massa aksi saat menarik kawat berduri pada unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat, Rabu (28/10/2020). Pada unjuk rasa kali ini mereka mendesak pemerintahan Jokowi dan Maruf Amin untuk mencabut UU Cipta Kerja. (Tribunnews/Jeprima) (Tribunnews/JEPRIMA)

Tindakan represif, kata Nasir, dapat dihindari jika intelijen kepolisian bekerja maksimal untuk mendeteksi dan melakukan mitigasi terhadap aksi massa unjuk rasa. 

Berita Rekomendasi

"Kalau ibarat laut, maka gelombang ujuk rasa itu mampu diditeksi dan kemudian dilakukan mitigasi. Sehingga gelombangnya tidak berbenturan dengan polisi," paparnya. 

"Jadi langkah preemtif dan preventif yang harus diprioritaskan. Kalau semua langkah sudah sempurna dilakukan, saya yakin polisi mampu melakukan mitigasi, mengurangi risiko hal-hal yang tidak diinginkan dalam menangani unjuk rasa," sambung Nasir.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan pihaknya telah memverifikasi 51 video yang menggambarkan 43 insiden kekerasan oleh polisi saat unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja  di berbagai daerah di Indonesia. 

Insiden kekerasan dalam video tersebut terjadi dalam kurun 6 Oktober hingga 10 November 2020.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (8/7/2019)
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid di Gedung Bareskrim Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (8/7/2019) (KOMPAS.com/Devina Halim)

Usman mengatakan hasil verifikasi tersebut menunjukkan polisi di berbagai Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM yang sangat mengkhawatirkan.

"Ada banyak sekali video yang kami terima dan juga menunjukkan kesaksian terhadap kekerasan polisi yang saat itu terjadi dalam demonstrasi menentang Undang-Undang Omnibus. Ini insiden yang mengingatkan kita pada brutalitas aparat keamanan kepada mahasiswa di tahun 98 sampai 99 di masa-masa akhir presiden otoriter Soeharto," kata Usman. 

Usman mengatakan setidaknya ada empat pola kekerasan yang dilakukan polisi. 

Sejumlah massa aksi saat melakukan pembakaran ban pada unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat, Rabu (28/10/2020). Pada unjuk rasa kali ini mereka mendesak pemerintahan Jokowi dan Maruf Amin untuk mencabut UU Cipta Kerja. (Tribunnews/Jeprima)
Sejumlah massa aksi saat melakukan pembakaran ban pada unjuk rasa penolakan UU Omnibus Law di kawasan patung kuda, Jakarta Pusat, Rabu (28/10/2020). Pada unjuk rasa kali ini mereka mendesak pemerintahan Jokowi dan Maruf Amin untuk mencabut UU Cipta Kerja. (Tribunnews/Jeprima) (Tribunnews/JEPRIMA)

Pertama, penggunaan alat yang tidak tepat di antaranya bambu, kayu, dan lainnya. 

Kedua, penggunaan gas air mata dan water canon yang tidak tepat dalam pembubaran aksi terkait perintah pembubaran dan waktu yang diberikan kepada pengunjuk rasa untuk bubar. 

Ketiga, penahanan incommunicado atau menutup akses komunikasi dari dunia luar. 

Keempat, bentuk penyiksaan yang dinilai tidak manusiawi dan merendahkan martabat di antaranya ditelanjangi dan dipaksa berbaring di bawah matahari.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas