Membangun Budaya Keamanan Siber
Kepala Badan Siber dan Sansi Negara Hinsa Siburian menegaskan serangan tersebut terbagi dalam dua sifat, yaitu serangan sosial dan teknis.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Hendra Gunawan
“Di undang-undang kita sudah menyatakan seperti itu di PP Nomor 71 Tahun 2019,” ujar Edmon.
Dalam kesempatan itu, Edmon juga menjelaskan, secara mendasar bahwa berkomunikasi di ruang siber banyak menggunakan sumber daya, seperti sinyal, frekuensi, teknologi enkripsi, perangkat lunak dan keras, dan lain-lain.
“Semua sumber daya ini dijalankan berdasarkan penatagunaan spektrum frekuensi, IP address dan nama domain,” ujarnya.
Ada pun pengalokasian IP address dan nama domain tidaklah dikuasi oleh negara, tetapi ditentukan oleh lembaga komunitas internasional bernama Internet Corporation for Assigned Names and Numbers (ICANN).
“Jadi, negara tidak ikut campur tangan dalam pengaturan IP address dan nama domain,” katanya.
Di Indonesia, pengaturan IP address dilakukan oleh Indonesia Network Information Center—Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (IDNIC-APJII), sedangkan pengaturan nama domain dilakukan oleh Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI).
Menciptakan budaya
Menciptakan tata kelola TI dengan baik, juga perlu dibarengi membudayakan perilaku di ruang siber. Ruang siber juga tak ada bedanya dengan ruang publik di dunia nyata.
Jenis-jenis perilaku yang terjadi di dunia nyata, juga memiliki keserupaan di dunia maya. Kejahatan, caci maki, pornografi, diskusi-diskusi politik dan ekonomi hingga isu-isu remeh di dunia nyata, dapat kita jumpai pula di internet. Hanya bedanya, kita berada dalam sebuah ruang atau platform daring tertentu.
Dengan kata lain, perlu etika dalam berselancar di ruang siber. Direktur Proteksi Ekonomi Digital BSSN, Anton Setiyawan, mengatakan, menciptakan budaya berinternet itu sangatlah penting.
“Kalau kita menggunakan internet tanpa budaya, kita akan hancur,” ujar dia.
Anton mengatakan seringkali masyarakat ketika berselancar di dunia maya menjadi seenaknya saja karena faktor anonimitas. Padahal, seharusnya tidak begitu.
"Ketika berbicara, budaya di dunia nyata yang baik sesuai budaya Indonesia, kita bawa juga [ke ruang siber]," kata Anton.
Menurut dia, dalam membangun budaya keamanan siber, BSSN menjadi lead.
Lembaga ini terus melakukan literasi kepada masyarakat, meski Anton menyadari hasil dari literasi itu masih kurang.
Ia mencontohkan, seringkali mendapatkan pertanyaan mengenai peretasan akun WhatsApp. Padahal, serangan ini tidak akan terjadi jika pengguna memahami dulu teknologi informasi yang dipakainya.
Serangan akun WhatsApp, kata dia, sebenarnya bisa dicegah jika pengguna menerapkan fitur pengamanan autentikasi dua faktor (2FA).
Anton menegaskan, literasi atau edukasi kepada masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus.
Dia menyadari dan yakin bahwa Indonesia sebenarnya punya bibit-bibit unggul, tetapi perlu diarahkan serta perlu diciptakan ekosistem di bidang keamanan siber melalui peta okupasi nasional.
"Strateginya kami mengarahkan ke hal yang baik, itu tercermin di peta okupasi nasional. Peta panduan bagi kita, pekerjaan apa yang dibutuhkan pasar, setelah itu, kita harus dong membuat bagaimana orang siap untuk bekerja pada pekerjaan tersebut" kata Anton.
"Kita kembangkan industrinya, termasuk hari ini pakai Jumpa.id yang merupakan platform konferensi video buatan lokal. Ini harus kita pakai. Harus ada yang namanya keberpihakan. Jadi, kita semua berpihak ke industri dalam negeri," kata Anton.