Rizieq Shihab Ditahan, Wamenag: Masyarakat Berdoa Saja agar Dapat Keadilan
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi meminta umat Islam khususnya pengikut Rizieq Shihab tidak berlebihan menanggapi penahanan pimpinan FPI itu.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi meminta umat Islam khususnya para pengikut Rizieq Shihab tidak berlebihan menanggapi penahanan pimpinan FPI itu.
"Ikuti saja prosesnya, berdoa semoga kasus ini selesai dan semua pihak mendapat keadilan," ujarnya dalam pernyataan tertulis yang diterima Tribun, Senin (14/12/2020).
Wamenag juga mengajak ormas Islam agar berkomitmen dalam dakwah amar ma'ruf (menegakkan kebenaran) dan nahyi munkar (mencegah keburukan) yang mengedepankan kebijaksanaan tidak mengedepankan kekerasan.
Baca juga: Belum Sempat Penuhi Panggilan Polda Jabar, Rizieq Shihab Sudah Ditahan Polda Metro Jaya
Bagi Zainut Tauhid kekerasan dengan embel-embel agama dan jihad, tidak dibenarkan.
"Arti Jihad itu sendiri bukanlah perang, apapun dan di manapun yang dilakukan muslim untuk mendapatkan kekuasaan, ketenaran, harta dan kekayaan. Jihad adalah abstract noun atau masdar dalam bahasa Arab yang asal katanya "jahada" yang berarti 'berjuang dan berusaha keras'. Jihad dalam konteks keislaman adalah melawan kecenderungan jahat dalam diri sendiri, seperti malas dan dengki," ujarnya.
Baca juga: Penahanan Rizieq Shihab, Wayan Sudirta Dukung Ketegasan Polisi
Ia mengakui, saat ini ada pergeseran pemahaman sebagian orang dalam memaknai tugas dakwah amar ma'ruf nahyi munkar.
Menurutnya, kebanyakan pihak memahami jika melaksanakan amar ma'ruf dengan cara lembut, bijak, dan penuh kedamaian, maka nahyi munkar harus dengan cara keras.
Hal tersebut, kata Wamenag, tidak sepenuhnya benar.
"Rasulullah mengajarkan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahyi munkar itu harus dengan penuh kebijaksanaan, contoh yang baik dan berdiskusi dengan cara yang lebih baik," ujarnya.
Dia juga menilai saat ini para ulama dihadapkan pada tantangan perubahan zaman di era keterbukaan informasi dan era digital.
Sayangnya, tingginya gairah masyarakat untuk memperoleh informasi dan ilmu, termasuk ilmu agama, terkendala dengan rendahnya tingkat literasi di tengah masyarakat.
Faktor tersebut berdampak pada maraknya hoaks di tengah masyarakat, termasuk hoaks berkenaan dengan isu keagamaan.
Alhasil, media sosial dipenuhi konten berisikan ujaran kebencian mengatasnamakan agama.
"Hal ini bisa melahirkan intoleransi di tengah masyarakat, serta menjadi tantangan pada keharmonisan kehidupan berbangsa,” ujarnya.(Willy Widianto)