Dipertanyakan, Mekanisme Izin Merekam dan Memotret di Persidangan dalam Aturan Baru MA
Andi menegaskan aturan tersebut bukan untuk membatasi ruang gerak saat meliput persidangan, tetapi lebih ke keamanan lingkungan persidangan.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah mempertanyakan sejumlah hal terkait mekanisme perizinan dalam aturan baru Mahkamah Agung (MA) soal perekaman dan pengambilan gambar di persidangan.
Di antaranya, kata Liza, adakah petugas khusus atau Panitera Pengganti di ruang sidang yang memberikan izin untuk memfoto atau merekam video.
"Hal yang harusnya disorot adalah bagaimana mekanisme izin ke Hakim atau Ketua Majelis Hakim? Apakah wartawan atau publik menghadap ke Meja Majelis Hakim sebelum sidang dimulai? Apakah Ketua Majelis Hakim menanyakan siapa saja wartawan dan memberi izin sebelum sidang dimulai?" kata Liza saat dihubungi Tribunnews.com pada Minggu (20/12/2020).
Baca juga: Ambil Foto dan Rekaman di Persidangan Harus Ada Izin, Aturan MA Dinilai Tak Jelas
Namun demikian Liza menilai pengaturan soal pengambilan foto, rekaman audio atau audio visual yang diatur di PERMA 5 tahun 2020 bukan bersifat larangan melainkan perlunya izin dari Hakim atau Ketua Majelis Hakim.
Ia menilai masyarakat seharusnya tidak perlu heboh terhadap aturan tersebut karena peraturan-peraturan untuk menjaga wibawa pengadilan dan menjaga ketertiban persidangan memang perlu ada.
Liza menilai Kewibawaan pengadilan dan ketertiban ruang sidang memerlukan sumbangsih dari kedua pihak yakni Publik yang menghormati jalannya persidangan dengan mematuhi peraturan dan Majelis Hakim serta pegawai pengadilan yang menghormati jalannya persidangan juga dan serius menjalankan tugasnya di persidangan.
"Perlu juga menyadarkan publik bahwa ruang sidang itu bukan pertunjukan. Keterbukaan persidangan adalah satu hal penting tetapi Majelis Hakim punya wewenang untuk membatasi jumlah pengunjung dan atau melarang rekaman persidangan yang dinilai akan mengganggu jalannya persidangan," kata Liza.
Liza juga berpendapat keterbukaan persidangan juga harus dilihat secara komprehensif.
"Bagaimana semua dokumen-dokumen persidangan (bukan hanya putusan) bisa diakses oleh publik, kecuali untuk perkara tertentu misalnya kasus perceraian dan anak," kata Liza.
Diberitakan sebelumnya Mahkamah Agung (MA) menjelaskan soal larangan memfoto dan merekam di persidangan yang diatur dalam Peraturan Mahkamanh Agung (PERMA) nomor 5 tahun 2020.
Juru bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan Perma tersebut bukan untuk membatasi transparansi.
"Tetapi lebih merupakan sebuah perangkat/pengaturan untuk mewujudkan peradilan yang berwibawa, di mana aparat peradilan yang bersidang serta pihak-pihak lain yang berkepentingan, termasuk para jurnalis, tentunya merasa aman berada di lingkungan pengadilan," kata Andi kepada wartawan, Minggu (20/12/2020).
Andi menegaskan aturan tersebut bukan untuk membatasi ruang gerak saat meliput persidangan, tetapi lebih ke keamanan lingkungan persidangan.
"Kalau aturan yang dicabut oleh Ketua MA sifatnya aturan khusus yang mengatur tata tertib dalam meliput atau mengambil gambar di persidangan. Sedangkan aturan dalam PERMA Nomor 5/2020 lebih bersifat umum untuk mengatur protokoler persidangan dan keamanan di lingkungan pengadilan," lanjutnya.
Andi juga menjelaskan soal latar belakang bagaimana Perma ini muncul. Selain untuk menciptakan suasana sidang yang tertib, Andi mengatakan terbitnya Perma ini agar aparat peradilan dan pihak-pihak yang berkepentingan di persidangan merasa aman
"Yang terpenting lagi dengan terbitnya PERMA Nomor 5/2020 tersebut diharapkan mewujudkan peradilan yang berwibawa. Tak jarang, kita menyaksikan terjadinya insiden atau penyerangan fisik yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak puas atas putusan hakim," pungkasnya.