Di Persidangan, Saksi Ungkap Pemberi Suap Nurhadi Bicara Perlawanan Terhadap KPK
Pada sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan saksi bernama Bashori yang berprofesi pengacara.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Malvyandie Haryadi
Laporan wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menggelar sidang kasus suap dan gratifikasi mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, pada Rabu (23/12/2020).
Pada sidang tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan saksi bernama Bashori yang berprofesi pengacara.
Saat memberi kesaksian, Bashori mengaku dihubungi oleh Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto yang tak lain adalah pemberi suap ke Nurhadi.
Baca juga: Penyidik KPK Lakukan Tahap II Penyuap Nurhadi ke Tim Jaksa
Dalam komunikasi via sambungan telepon itu Bashori yang merupakan pengacara dari saudara laki - laki Hiendra, Hengky Soejonto menyarankan agar dirinya menggugat KPK atas penggeledahan rumah Hengky.
Mulanya Hiendra menanyakan soal perkembangan penggeledahan rumah kakaknya itu kepada Bashori.
"Bagaimana perkembangannya?," kata Bashori menirukan ucapan Hiendra.
Lantas Bashori menjelaskan apa saja barang yang dibawa oleh KPK dalam giat penggeledahan itu. Seperti penggeledahan rumah, penyitaan HP dan sejumlah bukti tranferan.
Baca juga: Jaksa KPK dan Pengacara Nurhadi Debat Sengit di Persidangan
Setelah mendengar penjelasan Bashori, Hiendra kemudian menyarankan agar menggugat KPK atas penyitaan barang dan penggeledahan tersebut.
"Kenapa nggak lakukan perlawanan?," tanya Hiendra ke Bashori.
Lalu Bashori menjelaskan bahwa giat penggeledahan yang dilakukan KPK disebut telah memenuhi prosedur. Sehingga ia balik mempertanyakan ucapan Hiendra yang bertanya soal perlawanan tersebut.
"Apanya dilawan, semua sesuai prosedur," tutur Bashori.
Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiyono sebelumnya didakwa menerima suap dan gratifikasi senilai total Rp83 miliar terkait dengan pengaturan sejumlah perkara di lingkungan peradilan.
Baca juga: Terungkap di Persidangan, Nurhadi Renovasi Rumah di Patal Senayan Mencapai Rp 14 Miliar
Untuk suap, Nurhadi dan Rezky menerima uang sebesar Rp45.726.955.000 dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto. Hiendra sendiri merupakan tersangka KPK dalam kasus yang sama dengan para terdakwa.
Uang Rp45 miliar lebih itu diberikan agar kedua terdakwa mengupayakan pengurusan perkara antara PT MIT melawan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait dengan gugatan perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN seluas 57.330 meter persegi dan 26.800 meter persegi.
Awal mula gugatan, pada 27 Agustus 2010 Hiendra melalui kuasa hukumnya Mahdi Yasin dan rekan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang didasarkan pada pemutusan secara sepihak atas perjanjian sewa-menyewa depo container milik PT KBN. Hal itu sebagaimana register perkara nomor: 314/Pdt.G/2010/PN Jkt.Ut.
PN Jakarta Utara mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa perjanjian sewa-menyewa depo container tetap sah dan mengikat. Serta menghukum PT KBN membayar ganti rugi materiel kepada PT MIT sebesar Rp81.778.334.544.
Tak terima, PT KBN mengajukan banding. Namun lagi-lagi upaya hukum mereka kandas di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Namun di tingkat kasasi, MA dalam putusannya nomor 2570 K/Pdt/2012 menyatakan bahwa pemutusan perjanjian sewa-menyewa depo container adalah sah dan menghukum PT MIT membayar ganti rugi sebesar Rp6.805.741.317 secara tunai dan seketika kepada PT KBN.
PT KBN lantas bermohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara agar dilakukan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dengan aanmaning/teguran.
Mengetahui akan dieksekusi, Hiendra meminta bantuan kakaknya Hengky Soenjoto untuk dikenalkan dengan advokat Rahmat Santoso yang merupakan adik ipar Nurhadi atau paman Rezky.
Dalam pertemuan di cafe Vin+ Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan, Hiendra meminta Rahmat menjadi kuasanya dalam permohonan PK perkara gugatan dengan PT KBN sekaligus mengurus penangguhan eksekusi.
Satu bulan usai pertemuan, tepatnya tanggal 20 Agustus 2014, Hiendra memberi surat kuasa kepada Rahmat sekaligus memberi uang Rp300 juta dan cek OCBC NISP atas nama PT MIT nomor NNP 218650 sejumlah Rp5 miliar yang bisa dicairkan setelah permohonan PK didaftarkan ke MA. Pada 25 Agustus 2014, Rahmat mendaftarkan permohonan PK dan permohonan penangguhan eksekusi.
Beberapa hari kemudian, tutur Jaksa, Hiendra mencabut kuasa yang telah diberikan dan melarang Rahmat mencairkan cek Rp5 miliar.
"Namun pada kenyataannya Hiendra meminta terdakwa II (Rezky) yang merupakan menantu sekaligus orang kepercayaan terdakwa I (Nurhadi) untuk pengurusan perkara tersebut, padahal diketahui pada saat itu, terdakwa II bukanlah advokat," ucap Jaksa sebagaimana surat dakwaan.
Lebih lanjut, Nurhadi dan Rezky juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp37.287.000.000. Nurhadi disebut memerintahkan Rezky untuk menerima uang dari para pihak yang memiliki perkara baik di tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali secara bertahap sejak 2014-2017.
Penerimaan uang di antaranya dari Handoko Sutjitro (Rp2,4 miliar); Renny Susetyo Wardani (Rp2,7 miliar); Donny Gunawan (Rp7 miliar); Freddy Setiawan (Rp23,5 miliar); dan Riadi Waluyo (Rp1.687.000.000).
--