Akademisi: UU Cipta Kerja Jadi Harapan Pemulihan Ekonomi Nasional 2021
Kehadirannya UU Cipta Kerja diyakini dapat jadi akselerasi pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Corona yang masih mencengkram Indonesia dan dunia.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) diyakini mendorong pertumbuhan bisnis dan investasi di Tanah Air melalui reformasi regulasi dan kemudahan berusaha.
Kehadirannya dapat menjadi akselerasi pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi Covid-19 yang masih mencengkram Indonesia dan dunia.
Pakar Hukum Pembangunan Ekonomi UKI Dhaniswara K Harjono mengapresiasi pemerintah, di tengah pandemi Covid-19, Indonesia mampu menghadirkan produk hukum baru yang memberi harapan yakni UU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja yang terdiri 116 pasal ini mampu merevisi 77 UU sebelumnya yang ternyata isinya saling tumpang tindih dan tidak ada kepastian.
"Adapun UU Cipta Kerja ini menyentuh masalah perizinan dan penanaman modal dimana implementasi dari UU ini sebagai upaya meningkatkan investasi yang akan membuka lapangan kerja lebih luas. Salah satu sisi positif dari UU Cipta Kerja, kalau kita bikin perusahaan mudah, nggak perlu banyak modal. Kalau dulunya minimal Rp 50 juta, sekarang nggak ada," ujarnya di Jakarta,Sabtu(2/12/2021).
Baca juga: UU Cipta Kerja Diharapkan Bisa Dorong Investasi dan Perdagangan Internasional
Dia juga menilai, UU Cipta Kerja sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada serta tantangan ke depan.
Seperti memanfaatkan bonus demografi yang akan dialami Indonesia dalam 10-20 tahun mendatang (2020-2040), kemudian menyederhanakan, menyinkronkan, dan memangkas regulasi dikarenakan terlalu banyaknya aturan yang diterbitkan di pusat dan daerah yang menghambat kegiatan berusaha dan penciptaan lapangan kerja.
"Kita akan dihadapkan pada persoalan masa depan, antara lain bonus demografi pada 2030 dan puncaknya pada 2040. Artinya jumlah usia produktif komposisinya akan jauh lebih besar. Kita perlu solusi untuk mengantisipasi bonus demografi ini dengan peningkatkan lapangan kerja," kata Dhaniswara yang juga menjabat Rektor UKI tersebut.
Berdasarkan survei BPS, jelas dia,pada 2030 nanti setidaknya ada tambahan 52 juta penduduk usia produktif yang membutuhkan lapangan pekerjaan.
Ironisnya justru saat ini Indonesia masih dihadapkan pada persoalan regulasi yang menghambat penyediaan lapangan kerja dalam jumlah besar.
Baca juga: Potensi Ekonomi Generasi Muda Perlu Digali untuk Hadapi Tantangan Bonus Demografi
Berdasarkan data, saat ini ada 44 ribu aturan yang menghambat iklim investasi maupun dunia usaha mulai dari Perpres, Perppu, PP, Perda, Pergub dan lainnya.
Sehingga regulasi di Indonesia baik di pusat maupun daerah terlalu gemuk.
Hal ini sangat menghambat orang yang ingin berusaha atau membuka lapangan kerja di Indonesia.
Menurutnya, yang namanya bonus demografi seperti layaknya pedang bermata dua.
Bila tidak dipersiapkan lapangan pekerjaan, justru akan berdampak buruk di masa depan.
“Bonus demografi ini seperti pisau bermata dua, kalau tidak hati-hati ini akan membawa malapetaka, sehingga usia-usia produktif ini harus kita siapkan dengan baik," tambahnya.
Baca juga: Indonesia Emas 2045: Strategi Hadapi Bonus Demografi
Oleh karena itu, pemerintah melalui UU Cipta Kerja sedini mungkin berupaya mempermudah regulasi terkait perizinan berusaha di Indonesia.
Hal itu sangat positif untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, sehingga mampu menarik lebih banyak investor baik dari dalam maupun luar negeri.
"Salah satu upayanya ya melalui Penerapan UU Cipta Kerja untuk tadi menyiapkan lapangan kerja secara lebih luas jelang bonus demografi pada 2030. Kalau tidak mampu mengelola perizinan berusaha mulai dari sekarang, malah demografi justru akan jadi masalah. Akibatnya jadi beban ekonomi dan berdampak sosial juga politik," ucap dia.
Dhaniswara menambahkan, Indonesia masih punya pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, yaitu kesenjangan sosial.
Mengutip dari kajian TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) Indonesia masih berada di urutan keempat di dunia tentang kesenjangan sosial.
“Kita masih di bawah Rusia, India, dan Thailand. Posisi keempat ini bukan hebat, tapi artinya kita masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan,” ungkap Dhaniswara.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, peningkatan iklim bisnis dan investasi Indonesia adalah suatu keharusan untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional.
Untuk itu, diperlukan koordinasi dan sinergi yang kuat antara Pemerintah dengan seluruh stakeholder.
Pemerintah menargetkan ekonomi Indonesia dapat tumbuh di kisaran 4,5 persen hingga 5,5 persen di tahun 2021, dengan inflasi yang tetap terjaga di kisaran 3 persen.
“Kondisi itu dapat tercapai dengan didukung daya beli masyarakat dan sektor industri yang mulai pulih, seiring dengan berjalannya program pemulihan ekonomi dan berbagai upaya perbaikan,” ujar Airlangga.(Willy Widianto)