Iuran BPJS Kesehatan Naik, PKS: Pemerintah Abaikan Kesimpulan Rapat dengan DPR
Kurniasih Mufidayati menilai pemerintah mengabaikan kesepakatan yang termuat dalam kesimpulan hasil rapat antara Komisi IX DPR dengan pihak BPJS.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah resmi memberlakukan kenaikan iuran BPJS Kesehatan pada tahun 2021 khususnya untuk peserta kelas III.
Iuran peserta kelas I masih mengikuti kenaikan yang sebelumnya pada bulan Juli yaitu Rp 150 ribu.
Demikian pula dengan peserta kelas II yang masih mengikuti tarif dari kenaikan yang sebelumnya yaitu Rp 100 ribu.
Sementara untuk kelas III, kenaikan tarif pada Juli 2020 yang semula masih disubsidi oleh pemerintah dengan besaran Rp 25.500, mulai 1 Januari 2021 menjadi Rp 35.000.
Tarif ini berlaku untuk semua peserta termasuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
Menanggapi kenaikan itu, Anggota Komisi IX DPR Kurniasih Mufidayati menilai pemerintah dalam hal ini DJSN, BPJS Kesehatan dan semua pihak terkait mengabaikan kesepakatan yang termuat dalam kesimpulan hasil rapat antara Komisi IX DPR dengan pihak BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan pada 24 November 2020 lalu.
Baca juga: 1 Januari 2021 Iuran BPJS Kesehatan Kelas III Naik, Berlaku untuk Kategori PBPU dan Bukan Pekerja
Dalam rapat tersebut, Komisi IX DPR tegas mendesak agar Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk berkoordinasi dengan Kementerian lembaga terkait guna mempertimbangkan relaksasi iuran bagi peserta dari PBPU dan BP kelas III sehingga tetap membayar Rp 25.500 pada tahun 2021.
"Ini berarti Komisi IX meminta agar DJSN bersama Direksi BPJS Kesehatan dan semua pihak terkait harus mengupayakan alternatif pembiayaan dan sumber anggaran untuk menutupi selisih dari kenaikan yang diminta oleh BPJS Kesehatan," kata Mufida dalam keterangannya, Senin (4/1/2021).
Politikus PKS itu menilai, meskipun kenaikan tarif kelas III ini lebih rendah dari yang diajukan semula (Rp 42.000), namun tetap memberatkan bagi kelompok PBPU dan BP khususnya dalam situasi pandemi covid-19 yang masih berlangsung.
Menurutnya kelompok PBPU dan BP ini menjadi kelompok yang paling terpukul secara ekonomi akibat pandemi covid-19.
"Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan atau sumber pendapatan akibat berbagai pembatasan kegiatan ekonomi melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)," ujarnya.
Mufida menyebut, kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini juga berdampak terhadap beban APBD.
Pemda DKI Jakarta misalnya sampai menyiapkan anggaran khusus untuk membantu 1,1 juta orang yang berkurang pendapatan yang sebagian besarnya dalam kelompok PBPU dan BP ini.
Kementerian Ketenagakerjaan sendiri melansir data ada sekitar 2,56 juta pengangguran baru dan 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja akibat pandemi covid-19.
Baca juga: Peleburan Kelas BPJS Kesehatan Dimulai Pada 2022
Ketua DPP PKS itu seharusnya pemerintah memiliki kepekaan terhadap kondisi yang dialami oleh masyarakat saat ini.
Ketidakpastian pemulihan ekonomi yang menyebabkan sebagian besar PBPU dan BP masih terpuruk akibat pandemi harus jadi pertimbangan agar tidak semakin menambah beban mereka.
"Kenaikan tarif pada peserta kelas I dan II saja telah menyebabkan sebagian mereka berpindah menjadi peserta kelas III," ucap Mufida.
Mufida juga mengingatkan lagi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh manajemen BPJS pada saat pengajuan kenaikan tarif dulu yaitu terkait dengan data kepesertaan.
"Apakah permasalahan data ini sudah terselesaikan sehingga BPJS memiliki perhitungan yang lebih akurat terkait kebutuhan besaran pembiayaan?," ujarnya.
Berdasarkan hasil audit dengan tujuan tertentu oleh BPKP terhadap pengelolaan Dana Jaminan Sosial yang menemukan adanya permasalahan data kepesertaan JKN sebanyak 10.854.520.
Baca juga: Ini Daftar Harga dan Tarif yang Naik pada 2021, Iuran BPJS hingga Rokok
Sementara Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang menjadi basis data terpadu untuk penentuan jumlah penerima bantuan iuran (yang digolongkan dalam peserta kelas III) mendesak untuk dilakukan perbaikan.
Menurut Mufida, sebelumnya DPR juga sudah mengingatkan manajemen BPJS terkait dengan sistem kepesertaan yang dilakukan dan terkait dengan data yang digunakan.
Permintaan untuk melakukan Cleansing Data kepesertaan ini juga karena adanya temuan 24,77 juta data peserta yang bermasalah dari hasil audit yang dilakukan oleh BPKP.
"Karena data dan sistem kepesertaan yang bermasalah ini bisa berimplikasi pada membengkaknya beban pembiayaan yang harus dilakukan oleh BPJS," pungkas Mufida.