Komnas HAM Beberkan Pandangannya Terkait PP Kebiri Kimia, Dinilai Tak Sejalan dengan Prinsip HAM
Komnas HAM menilai ide hukuman keburu tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia, terutama di dalam hal tidak melakukan penghukuman yang kejam.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik menyampaikan pandangan Komnas HAM terkait PP Kebiri Kimia yang belakangan menimbulkan perbincangan hangat di tengah masyarakat.
Ia pun menekankan agar pandangannya tersebut dikutip secara lengkap agar publik paham terhadap poin-poin pandangan Komnas HAM dan tidak terjadi kesalahpahaman.
Sejak awal, kata Taufan, Komnas HAM berbeda pandangan dengan usulan hukum tambahan kebiri kimiawi tersebut.
Komnas HAM, kata dia, menilai ide tersebut tidak sejalan dengan prinsip hak asasi manusia, terutama di dalam hal tidak melakukan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi.
Meski pelaku kejahatan seksual terutama kepada anak-anak adalah kejahatan yang serius karena tidak saja menyakiti anak yang jadi korban dan menghancurkan masa depan mereka, namun penghukuman seperti itu bertentangan dengan filosofi dan maksud pemidanaan yang tujuannya untuk mencegah dan merehabilitasi pelaku kriminal.
Hukuman pidana, menurut Komnas HAM, tidak dimaksudkan sebagai sarana balas dendam.
Kekejaman, menurut Komnas HAM tidak perlu dibalas dengan kekejaman karena begitulah ciri hidup peradaban masyarakat modern.
"Indonesia bahkan sudah memasukkan prinsip bahwa setiap orang tidak boleh mengalami penyiksaan (pasal 28G ayat 2 UUD 1945), juga di dalam pasal 33 ayat 1 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang bunyinya 'setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau per-lakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya'," kata Taufan ketika dihubungi Tribunnews.com pada Selasa (5/1/2021).
Indonesia, kata Taufan, juga telah meratifikasi aturan Konvensi yang Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987.
Pada Pasal 7 dalam Kovenan itu, kata Taufan, mengatur dengan sangat jelas konsern tentang perlindungan manusia dari ancaman penyiksaan yang dilakukan pihak lain: "Tidak seorangpun boleh dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabatnya, khususnya tidak seorangpun, tanpa persetujuannya secara sukarela dapat dijadikan eksperimen medis atau ilmiah."
"Jadi, norma hak asasi manusia untuk tidak melakukan penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi sudah menjadi bagian dari norma hukum Indonesia. Dengan begitu, meski kita sangat menolak kekerasan seksual, namun norma dan prinsip hak asasi manusia mesti lah kita jadikan pegangan ber-sama di dalam menyusun dan menerapkan hukum di negeri kita," kata Taufan.
Baca juga: Pro Kontra Hukuman Kebiri, Pemakaian Gelang Elektronik Hingga Belum Jelasnya Aturan Pengawasan
Selain itu, kata Taufan, tidak ada bukti ilmiah bahwa penerapan kebiri kimia ini akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual, khususnya terhadap anak-anak.
Sehingga menurutnya, kita mesti menyiapkan berbagai strategi lain untuk mengatasi masalah ini yang terus meningkat tiap tahun dan kompleksitas masalahnya juga makin tinggi.