KPK Panggil Ulang Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah Jadi Saksi Kasus Izin Ekspor Benih Lobster
Rohidin sedianya diperiksa pada Selasa (12/1/2021) guna melengkapi berkas perkara tersangka Suharjito selaku pemilik PT Dua Putra Perkasa.
Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan ulang pemeriksaan terhadap Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah sebagai saksi kasus dugaan suap perizinan ekspor benih lobster atau benur di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Rohidin sedianya diperiksa pada Selasa (12/1/2021) guna melengkapi berkas perkara tersangka Suharjito selaku pemilik PT Dua Putra Perkasa.
Namun, surat panggilan yang dilayangkan tim penyidik KPK belum diterima Rohidin.
Baca juga: Dalami Kasus Korupsi Bansos Juliari, KPK Geledah Rumah di Cipayung
"Bahwa surat panggilan sebagai saksi terhadap yang bersangkutan setelah kami cek, belum diterima," kata Plt Juru Bicara Penindakan KPK Ali Fikri melalui keterangannya, Selasa (12/1/2021).
Atas hal itu, kata Ali, tim penyidik KPK mengagendakan ulang pemeriksaan terhadap Rohidin. Meski begitu, Ali belum mengungkap secara persis kapan pemanggilan ulang tersebut dilakukan.
"Tim penyidik KPK segera mengagendakan untuk dilakukan pemanggilan kembali kepada yang bersangkutan. Mengenai waktunya akan kami informasikan lebih lanjut," tutupnya.
Baca juga: KPK Belum Miliki Bukti Valid Harun Masiku Telah Meninggal Dunia
Dalam perkara ini KPK menetapkan total tujuh orang sebagai tersangka.
Enam orang sebagai penerima suap yakni eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo; stafsus Menteri KP, Safri dan Andreau Pribadi Misanta; sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin; Pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK), Siswadi; dan staf istri Menteri KP, Ainul Faqih.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Baca juga: Dalami Korupsi Bansos Covid-19 yang Jerat Juliari Batubara, KPK Geledah Dua Kantor Perusahaan
Sedangkan pihak pemberi suap adalah Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito.
Ia disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo diduga melalui staf khususnya mengarahkan para calon eksportir untuk menggunakan PT ACK bila ingin melakukan ekspor. Salah satunya adalah perusahaan yang dipimpin Suharjito.
Perusahaan PT ACK itu diduga merupakan satu-satunya forwarder ekspor benih lobster yang sudah disepakati dan dapat restu dari Edhy. PT ACK diduga memonopoli bisnis kargo ekspor benur atas restu Edhy Prabowo dengan tarif Rp1.800 per ekor.
Dalam menjalankan monopoli bisnis kargo tersebut, PT ACK menggunakan PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) sebagai operator lapangan pengiriman benur ke luar negeri. Para calon eksportir kemudian diduga menyetor sejumlah uang ke rekening perusahaan itu agar bisa ekspor.
Uang yang terkumpul diduga digunakan untuk kepentingan Edhy Prabowo dan istrinya, Iis Rosyati Dewi untuk belanja barang mewah di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat pada 21-23 November 2020. Sekitar Rp750 juta digunakan untuk membeli jam tangan Rolex, tas Tumi dan Louis Vuitton, serta baju Old Navy.
Edhy diduga menerima uang Rp3,4 miliar melalui kartu ATM yang dipegang staf istrinya. Selain itu, ia juga diduga pernah menerima 100 ribu dolar AS yang diduga terkait suap.
Adapun total uang dalam rekening penampung suap Edhy Prabowo mencapai Rp9,8 miliar.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.