Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Gugatannya Ditolak MK, Rizal Ramli: Hakim MK Cenderung Seperti 'Mahkamah Kekuasaan'

Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami.

Penulis: Dewi Agustina
zoom-in Gugatannya Ditolak MK, Rizal Ramli: Hakim MK Cenderung Seperti 'Mahkamah Kekuasaan'
Tribunnews/Herudin
Ekonom Rizal Ramli (kiri) ditemani Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden, di Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020). Rizal Ramli mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang tertuang di dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) 7/2017 yang mensyaratkan 20 persen kursi menjadi 0 persen. Tribunnews/Herudin 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Rizal Ramli soal judicial review UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

Mahkamah menilai, gugutan yang dilayangkan Rizal Ramli bersama Abdulrachim Kresno tak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan judicial review atas norma presidential threshold.

Sehingga, MK menolak gugatan Rizal dan Abdulrochim terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut.

"Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan seterusnya, amar putusan mengadili menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Mahkamah Anwar Usman dalam siaran kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/1/2021).

Mahkamah juga menyebutkan, bahwa permasalahan berapa banyak jumlah orang yang bisa ikut capres, bukanlah masalah konstitusionalitas. 

Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim menilai ambang batas presiden dalam pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon. 

Menurut hakim, pemilih pada Pemilu legislatif 2019 dianggap telah mengetahui bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden.

Berita Rekomendasi

"Pemohon I mestinya menunjukkan dukungan dalam batas penalaran yang wajar menunjukkan bukti dukungan itu ke MK," jelas Hakim MK.

Tanggapan Rizal Ramli

Sementara itu Rizal Ramli menanggapi terkait keputusan MK tersebut.

Berikut tanggapan Rizal Ramli seperti disampaikan kepada redaksi Tribunnews:

Ketika ada ide dan saran kepada Dr. Rizal Ramli untuk melakukan Judicial Review (JR) terkait Presidential Threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK) kami sebenarnya sangat skeptis.

Ini karena kami melihat track record MK selama ini lebih menjadi “Mahkamah Kekuasaan”.

Keputusan-keputusan MK terkait kebijakan selama ini lebih banyak membenarkan status quo. Wajar kami skeptis.

Tetapi saya tidak mau suudzon, atau praduga yang negatif. Itulah alasan kami tetap mengajukan JR ini.

Namun hasilnya ternyata seluruh Hakim MK menolak legal standing kami.

Kami sangat kecewa dengan putusan MK, yang tidak memiliki argumen hukum yang kuat.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Rizal Ramli Soal Ambang Batas Pencalonan Presiden

MK lebih mendengarkan suara kekuasaan.

MK ketakutan membiarkan kami hadir di pembahasan substansi perkara.

Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami, seperti:

1. Sistem Presidential Threshold 20 persen merupakan legalisasi dari sistem politik uang dan kriminal yang merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan sosial ekonomi rakyat.

2. Di seluruh dunia ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia tetapi tidak ada pembatasan semacam Presidential Threshold.

Ada negara seperti Ukraina yang bahkan memiliki 39 calon presiden, dengan 18 orang dicalonkan parpol yang berbeda dan 21 orang dicalonkan independen.

Itulah esensi demokrasi yang sesungguhnya, rakyat yang menyortir dan memilih calon presiden.

Bukannya malah parpol yang melakukan sortir dan pre-seleksi calon presiden berdasarkan kriteria kekuatan finansial.

Di Indonesia capres-cawapres harus bayar atau "menyewa" parpol-parpol untuk bisa dicalonkan.

Para hakim MK yang menolak pembahasan masalah yang sangat prinsipil ini menunjukkan kelemahan pemahaman mereka terhadap sistem demokrasi dan tanda dari gejala kepicikan dan kecupetan berpikir.

3. Bahwa akibat sistem tersebut, kekuatan uang menjadi sangat menentukan bagi pemilihan pemimpin di Indonesia.

Kelompok utama yang mendukung sistem demokrasi kriminal adalah para bandar/cukong yang membantu biaya menyewa parpol, pollster, public relations, dan kampanye di media sosial sang calon.

Bagitu calon menang, dia lebih mengabdi kepada para bandar dan cukong, melupakan kepentingan nasional dan rakyat.

Seluruh hakim MK yang berpikiran picik dan cupet itu menghindar dari pembahasan yang sangat penting dengan cara menolak posisi legal standing Dr Rizal Ramli.

Cara cupet dan picik yang dilakukan para hakim MK dengan menolak legal standing Dr Rizal Ramli menunjukkan lemahnya basis argument mereka, sehingga menggunakan cara kekanak-kanakan untuk menutup kesempatan melakukan pembahasan tentang sistem Pemilu yang bersih dan amanah.

Baca juga: Alasan MK Tolak Gugatan Rizal Ramli Terkait Ambang Batas Pencalonan Presiden

Kami sedang mempertimbangkan opsi-opsi selanjutnya.

Ini untuk mendorong pembahasan yang betul-betul berbobot dan ilmiah tentang sistem demokrasi kriminal vs sistem demokrasi yang bersih dan amanah.

Dari 12 kasus gugatan Judicial Review tentang Presidential Threshold 20 persen di MK sebelumnya, sebagian besar diproses dan dibahas oleh MK.

Kok bisa dalam gugatan RR, MK menolak legal standing-nya? Bahwa yang kita ingin perbaiki ini adalah sistem yang menyangkut parpol, yang merupakan bagian dari sistem demokrasi kriminal.

Mereka, parpol-parpol tersebut berkepentingan untuk terus melanggengkan sistem sistem demokrasi kriminal karena menguntungkan parpol-parpol secara finansial.

Tidak mungkin mereka mau melakukan perbaikan, reformasi sistem politik yang kriminal tersebut.

Luar biasa aneh dan sedemikian teledor serta tidak logisnya pikiran hakim MK yang mensyaratkan agar penguggat Presidential Threshold harus didampingi atau mewakili parpol.

Jakarta, 17 Januari 2020
Dr. Rizal Ramli

Gugatan Uji Materi UU Pemilu

Sebelumnya diberitakan, ekonom Rizal Ramli mengajukan gugatan uji materi terhadap UU No. 7/2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Poin utama gugatan adalah penghapusan ambang batas syarat mencalonkan presiden atau presidential threshold menjadi 0 persen.

Rizal mengajukan gugatan tersebut bersama rekannya saat dipenjara pada 1978 lalu, Abdul Rachim Kresno.

Waktu itu, keduanya berjuang agar sistem di Indonesia berubah dari otoriter menjadi demokratis. Kini, mereka mengajukan gugatan agar Indonesia bisa mempertahankan prinsip demokrasi.

Rizal dan Abdul Rachim mendaftarkan gugatan itu ke MK dengan tanda terima bernomor 2018/PAN.MK/IX/2020.

Adapun yang bertindak sebagai kuasa hukum adalah Refly Harun bersama Iwan Satriawan, Maheswara Prabandono, dan Salman Darwis.

Usai mendaftarkan gugatannya, Rizal mengatakan, satu alasannya meminta agar presidential threshold diubah menjadi 0 persen karena demokrasi saat ini dinilai menjadi seperti kriminal.

"Kita berubah dari sistem otoriter ke sistem demokratis. Awalnya bagus. Tapi makin ke sini makin dibikin banyak aturan yang mengubah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal," kata mantan Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020).

Ekonom Rizal Ramli (tengah) ditemani Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun (kanan) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden, di Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020). Rizal Ramli mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang tertuang di dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) 7/2017 yang mensyaratkan 20 persen kursi menjadi 0 persen. Tribunnews/Herudin
Ekonom Rizal Ramli (tengah) ditemani Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun (kanan) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden, di Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020). Rizal Ramli mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang tertuang di dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) 7/2017 yang mensyaratkan 20 persen kursi menjadi 0 persen. Tribunnews/Herudin (Tribunnews/Herudin)

Menurut dia, dengan menghapus ambang batas alias semua parpol peserta pemilu bisa mengajukan capres-cawapres, pemimpin yang dihasilkan dianggap lebih berkualitas dan terhindar dari money politic karena aturan presidential threshold.

"Kita ingin hapuskan (presidential threshold-Red) jadi nol, sehingga siapa pun putra putri Indonesia terbaik bisa jadi bupati, bisa jadi gubernur, bisa jadi Presiden. Karena kalau enggak, pemimpin yang dihasilkan itu ya istilahnya modal gorong-gorong saja bisa jadi. Main TikTok saja bisa kepilih jadi gubernur. Hancur enggak nih republik?" ucapnya.

Mantan Menko Maritim itu mengungkapkan, threshold 20 persen kursi DPR telah melahirkan praktik 'sewa parpol' untuk menjadi capres-cawapres. Bahkan, untuk maju sebagai calon di pilkada, baik pilbup atau pilwalkot pun harus menyetor sejumlah uang ke parpol. Nilainya pun fantastis, mencapai ratusan miliar. "Bahasa sederhananya, kalau mau jadi bupati mesti nyewa partai. Sewa partai itu antara Rp 30 miliar sampai Rp 50 miliar," tuturnya.

Rizal menyatakan, praktik itu juga terjadi di ajang pilpres. Ia bahkan mengaku pernah ditawarkan maju pilpres pada 2009 asalkan membayar sejumlah uang ke partai. Tarif untuk pilpres pun disebut lebih gila-gilaan.

"Saya 2009 pernah ditawarin: ’Mas Rizal dari kriteria apa pun lebih unggul dibandingkan yang lain. Kita partai mau dukung, tapi kita partai butuh uang untuk macam-macam.’ Satu partai mintanya Rp 300 miliar. Tiga partai itu Rp 900 miliar. Nyaris Rp 1 triliun. Itu 2009. 2020 lebih tinggi lagi. Jadi yang terjadi ini demokrasi kriminal," tukasnya.

Ekonom Rizal Ramli (tengah) ditemani Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun (kanan) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden, di Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020). Rizal Ramli mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang tertuang di dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) 7/2017 yang mensyaratkan 20 persen kursi menjadi 0 persen. Tribunnews/Herudin
Ekonom Rizal Ramli (tengah) ditemani Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun (kanan) mendatangi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden, di Jakarta Pusat, Jumat (4/9/2020). Rizal Ramli mengajukan gugatan terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang tertuang di dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) 7/2017 yang mensyaratkan 20 persen kursi menjadi 0 persen. Tribunnews/Herudin (Tribunnews/Herudin)

Rizal menilai, praktik itu yang merusak Indonesia, dan harusnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) fokus pada praktik money politics. Ia juga menyebut, MK melegalkan praktik politik uang karena threshold dibiarkan di UU Pemilu.

"Saya harap kali ini, saya akan bujuk teman-teman MK, marilah kita berpikir untuk Indonesia yang lebih hebat, yang lebih makmur. Kita hapus threshold ini supaya kalau tidak, threshold ini jadi sekrup pemerasan," tandasnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas