Gugatannya Ditolak MK, Rizal Ramli: Hakim MK Cenderung Seperti 'Mahkamah Kekuasaan'
Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami.
Penulis: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Rizal Ramli soal judicial review UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.
Mahkamah menilai, gugutan yang dilayangkan Rizal Ramli bersama Abdulrachim Kresno tak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan judicial review atas norma presidential threshold.
Sehingga, MK menolak gugatan Rizal dan Abdulrochim terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tersebut.
"Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan seterusnya, amar putusan mengadili menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima," kata Hakim Ketua Mahkamah Anwar Usman dalam siaran kanal YouTube Mahkamah Konstitusi, Kamis (14/1/2021).
Mahkamah juga menyebutkan, bahwa permasalahan berapa banyak jumlah orang yang bisa ikut capres, bukanlah masalah konstitusionalitas.
Selain itu, dalam pertimbangannya, hakim menilai ambang batas presiden dalam pemilu 2019 tak memberi kerugian secara konstitusional kepada pemohon.
Menurut hakim, pemilih pada Pemilu legislatif 2019 dianggap telah mengetahui bahwa suara mereka akan digunakan untuk menentukan ambang batas pencalonan presiden.
"Pemohon I mestinya menunjukkan dukungan dalam batas penalaran yang wajar menunjukkan bukti dukungan itu ke MK," jelas Hakim MK.
Tanggapan Rizal Ramli
Sementara itu Rizal Ramli menanggapi terkait keputusan MK tersebut.
Berikut tanggapan Rizal Ramli seperti disampaikan kepada redaksi Tribunnews:
Ketika ada ide dan saran kepada Dr. Rizal Ramli untuk melakukan Judicial Review (JR) terkait Presidential Threshold 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK) kami sebenarnya sangat skeptis.
Ini karena kami melihat track record MK selama ini lebih menjadi “Mahkamah Kekuasaan”.
Keputusan-keputusan MK terkait kebijakan selama ini lebih banyak membenarkan status quo. Wajar kami skeptis.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.