Tak Kunjung Diberi Berkas Perkara, Kuasa Hukum Jumhur Hidayat: Bagaimana Cara Kami Bisa Membela
Oky Wiratama kecewa dengan sikap jaksa penuntut umum (JPU) yang hingga selesai membacakan dakwaan atas kliennya, tak kunjung memberi berkas pokok perk
Penulis: Danang Triatmojo
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kuasa hukum deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat, Oky Wiratama kecewa dengan sikap jaksa penuntut umum (JPU) yang hingga selesai membacakan dakwaan atas kliennya, tak kunjung memberi berkas pokok perkara.
Padahal berkas perkara itu penting sebagai upaya pembelaan atas dakwaan terhadap kliennya.
Menurutnya sikap jaksa telah mencederai ketentuan hukum dalam Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Kami intinya baru mendapat surat dakwaan itu hari ini, dan berkas perkara sampai sekarang kami belum dapatkan sama sekali yang mana ini mencederai aturan hukum KUHAP," kata Oky usai persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/1/2021).
Oky mengatakan sebagaimana ketentuan dalam KUHAP, berkas perkara persidangan seharusnya sudah diberikan kepada terdakwa, dan kuasa hukumnya.
Namun meski pelimpahan perkara sudah masuk di ranah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan dakwaannya pun sudah dibacakan, berkas tersebut tak juga sampai ke kubu terdakwa.
"Namun kenyataan sampai seksrang belum dapat berkas perkara. Bagaimana kami bisa membela klien kami kalau belum mendapatkan berkas perkara. Ini menurut kami suatu ketidakadilan," terang dia.
Baca juga: Kuasa Hukum Pentolan KAMI: Cuitan Jumhur Hidayat Tak Ada Kaitannya Dengan Dakwaan Picu Keonaran
Dakwaan Jaksa
Jaksa Penuntut Umum mendakwa Jumhur Hidayat menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya, terkait Undang - Undang Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaksa menilai cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh.
Akibat dari cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020, hingga berakhir rusuh.
"Salah satunya, muncul berbagai pro kontra terhadap Undang-undang Cipta Kerja tersebut sehingga muncul protes dari masyarakat melalui demo. Salah satunya, demo yang terjadi pada tanggal 8 Oktober 2020 di Jakarta yang berakhir dengan kerusuhan," imbuh jaksa.
Cuitan Jumhur yang dianggap menyalakan api penolakan masyarakat terhadap UU Cipta Kerja terjadi pada 25 Agustus 2020. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah".
Kemudian pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan yang mirip - mirip berisi "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTOR dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BEERADAB ya seperti di bawa ini".
Atas perbuatannya, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang - Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.