Apa Itu Pemakzulan yang Kini Menimpa Donald Trump? Begini Mekanisme di Indonesia Menurut UUD 1945
Pemakzulan adalah proses, cara, atau perbuatan menurunkan (seseorang) dari jabatannya.
Penulis: Fitriana Andriyani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Belakangan ramai pemberitaan mengenai pemakzulan yang dilakukan terhadap Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Namun, tahukah Anda apa itu pemakzulan?
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemakzulan merupakan kata turunan dari makzul yang memiliki definisi berhenti memegang jabatan; turun takhta.
Pemakzulan, dalam KBBI diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memakzulkan.
Sementara, memakzulkan memiliki makna menurunkan dari takhta; memberhentikan dari jabatan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemakzulan adalah proses, cara, atau perbuatan menurunkan (seseorang) dari jabatannya.
Baca juga: Ini Poin-poin Penting Sidang Pemakzulan Kedua Donald Trump Hari Pertama
Baca juga: CEK FAKTA Sidang Pemakzulan Mantan Presiden AS Donald Trump di Hari Pertama
Mekanisme pemakzulan di Indonesia berdasarkan undang-undang
Berdasarkan jurnal konstitusi Laica Marzuki berjudul "Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden Menurut UUD 1945", mekanisme pemakzulan presiden di Indonesia diatur dalam UUD 1945 pasal 7A.
Adapun bunyi dari UUD 1945 pasal 7A:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Untuk melakukan suatu pemakzulan, terdapat beberapa ketentuan yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 7B, yakni sebagai berikut:
(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.