Pengamat Sebut 272 Daerah Akan Dipimpin Penjabat yang Ditunjuk dan Dikontrol Pemerintah Pusat
Djayadi Hanan menilai pemerintah menghindari pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 seiring dengan dihentikannya pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Adi Suhendi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan menilai pemerintah menghindari pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023 seiring dengan dihentikannya pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu.
“Kalau revisi UU Pemilu tidak dilanjutkan, itu artinya pasti tidak ada Pilkada 2022 dan 2023. Yang ditolak oleh pemerintah sebetulnya adalah pelaksanaan Pilkada, terutama yang 2022,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) ini ketika dihubungi Tribunnews.com, Kamis (11/2/2021).
Dengan tidak dilaksanakannya Pilkada 2022 dan 2023, maka akan berdampak terhadap kepala daerah di 272 daerah yang akan dijabat pelaksana tugas, termasuk 25 Gubernur.
Baca juga: Kisruh Revisi Undang-Undang Pemilu, Politikus Demokrat Sebut PDIP Gila Kuasa
Itu berarti, kata dia, pejabat kepala daerah itu akan ditunjuk dan dikontrol pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri.
“Kalau pilkada tidak dilaksanakan di 2022 dan 2023, jelas 272 daerah itu, termasuk 25 Gubernur akan diisi penjabat yang sepenuhnya ditunjuk dan dikontrol pemerintah melalui Kemdagri,” katanya.
Dia menduga, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ingin di 272 daerah tersebut para kepala daerah itu sepenuhnya akan patuh pada pemerintah pusat, sehingga tidak mengganggu fokus pemerintahannya.
“Mungkin memang itu yang dikehendaki Presiden Jokowi yang tampaknya menganggap bahwa kalau para kepala daerah dijabat oleh politisi pilihan rakyat, itu akan mengganggu fokus pemerintahannya,” jelasnya.
Baca juga: Mardani: PKS Tetap Ingin Lanjutkan Pembahasan RUU Pemilu
Di sisi lain, kata dia, pelaksanaan Pemilu 2024 memerlukan kajian dan penyesuaian antara Pilkada November 2024 dengan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang diatur dua UU berbeda.
Itu berarti, dia mengatakan, revisi UU Pemilu tetap diperlukan.
“Dengan demikian revisi UU pemilu mungkin saja masuk atau akan dibahas oleh DPR tahun depan. Yang penting bagi pemerintah kan menghindari pilkada 2022 dan 2023,” jelasnya.
Sebelumnya diberitakan, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan Komisi II telah sepakat tidak akan melanjutkan pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu.
Baca juga: Sejak Awal Tak Dukung RUU Pemilu, PKPI : Itu Upaya Mengkerdilkan Demokrasi
Hal itu disampaikannya setelah menggelar rapat dengan Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) terkait kelanjutan pembahasan RUU Pemilu.
"Tadi saya udah rapat dengan seluruh pimpinan dan Kapoksi yang ada di Komisi II dengan melihat perkembangan dari masing-masing parpol terakhir-terakhir, ini kami sepakat untuk tidak melanjutkan pembahasan ini," ujar Doli, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (10/2/2021).
Setelah para kapoksi sepakat terkait tidak dilanjutkannya RUU Pemilu, Doli mengatakan hal ini akan dilaporkan kepada pimpinan DPR RI.
Nantinya, kata dia, hal tersebut akan dibahas di bamus bersama Badan Legislasi DPR RI.
"Bamus memutuskannya seperti apa itu kan pandangan resmi dari fraksi masing-masing di DPR kemudian diserahkan di baleg kemudian nanti kalo mau dibicarakan dengan pemerintah tentang list Prolegnas tentunya kan gitu," jelas Doli.