Pilkada 2020, Gubernur Lemhannas: Dinasti Politik Hambat Konsolidasi Demokrasi dan Lemahkan Parpol
Agus Widjojo menilai fenomena dinasti politik pada Pilkada 2020 menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal dan melemahkan partai politik.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menilai fenomena dinasti politik pada Pilkada 2020 menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal dan melemahkan partai politik.
Agus mengatakan menguatnya fenomena dinasti politik dapat dilihat dari sistem informasi dan rekapitulasi KPU yang menunjukkan 55 kandidat dari 124 kandidat (44%) terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat.
Hal tersebut disampaikan Agus dalam seminar tentang Pilkada serentak dan konstelasi politik di daerah di kantor Lemhannas Jakarta pada Kamis (11/2/2021).
“Fenomena dinasti politik tersebut yang kemudian justru menghambat konsolidasi demokrasi di tingkat lokal, sekaligus melemahkan institusional partai politik dan lebih mengemukakan pendekatan personal ketimbang kelembagaan,” kata Agus dalam keterangan resmi Lemhannas RI.
Baca juga: Gubernur Lemhanas Soroti Kecenderungan Semakin Pragmatisnya Parpol di Indonesia
Akibat fenomena dinasti politik itu, kata Agus, rekrutmen politik hanya dikuasai oleh sekelompok atau segelintir orang melalui oligarki.
Padahal, kata dia, Indonesia merupakan negara demokrasi.
Sebagai negara demokrasi, dalam memilih pemimpin, rakyat mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam pemilihan umum baik dalam hal memilih eksekutif maupun legislatif di tingkat nasional maupun tingkat daerah.
Meski secara keseluruhan Pilkada Serentak 2020 berlangsung dengan aman, damai dan lancar di tengah kondisi pandemi Covid-19, namun kata dia, praktik politik uang masih kuat.
Hal itu dilihat dari jumlah kasus dugaan politik uang yang ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang mencapai 104 kasus.
Kasus dugaan politik uang tersebut tersebar di 19 Provinsi, yaitu, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Banten, NTT, Babel, Kalimantan Tengah dan Riau.
“Politik uang yang dilakukan terus-menerus akan merusak budaya demokrasi di Indonesia karena akan mempengaruhi masyarakat untuk memilih berdasarkan transaksional dengan manfaat subyektif untuk kepentingan sesaat jangka pendek, tidak melihat kepada visi-misinya pembangunan jangka panjang,” kata Agus.
Agus juga menilai Pilkada serentak juga masih diwarnai dengan terindikasinya 21 kasus pelanggaran netralitas ASN.
Dampak dari ketidaknetralan ASN, tersebut, kata Agus, juga bersifat jangka panjang.
Akibatnya, kata dia, akan mempengaruhi pola manajemen PNS yang tidak lagi didasarkan pada profesionalisme tetapi lebih kepada kedekatan personal terhadap pejabat, yang berarti politisasi ASN atau PNS.
Baca juga: Gubernur Lemhannas: AS dan Myanmar Contoh Ekstrem Demokrasi
Menurutnya, terkait kondisi demokrasi fenomena pilkada yang akan terus terulang maka perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.
Sejumlah pertanyaan yang perlu dijawab antara lain bagaimana peran kekuatan politik yang ada dalam pilkada untuk dapat terus-menerus memperkuat peran demokrasi di Indonesia guna mencapai tujuannya.
Selain itu apakah kekuatan partai politik saat ini tidak lagi mempunyai kekuatan ideologis sehingga masyarakat tidak lagi teridentifikasi kepada warna partai politik tertentu dikaitkan dengan aspirasinya, dan justru lebih kepada pertimbangan pragmatis jangka pendek dengan melakukan politik uang dan mengedepankan figur serta politik Oligarki karena dianggap dapat meraih kekuatan maksimal untuk pemenangan Pilkada.