Soal Demokrasi, Gubernur Lemhannas Ajak Masyarakat Belajar dari Pengalaman AS dan Myanmar
Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengajak masyarakat belajar dari pengalaman Amerika Serikat dan Myanmar terkait proses demokrasi.
Penulis: Gita Irawan
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengajak masyarakat belajar dari pengalaman Amerika Serikat (AS) dan Myanmar terkait proses demokrasi.
Di Amerika Serikat, kata Agus, terjadi dinamika politik yang tinggi dari Presiden AS Trump yang sebelumnya tanpa ada preseden.
Hal tersebut disampaikannya dalam Seminar Pilkada Serentak dan Konstelasi Politik di Daerah di Lemhannas RI pada Kamis (11/2/2021).
“Awalnya, orang bertanya-tanya, apakah sistem demokrasi di Amerika bisa dijadikan model dan terus berlanjut. Kita lihat juga bagaimana Presiden Trump menyelenggarakan kekuasaan selama masa baktinya, juga sikap dan perilakunya ketika maju untuk Pilpres,” kata Agus dalam keterangan resmi Humas Lemhannas RI.
Baca juga: Gubernur Lemhannas: AS dan Myanmar Contoh Ekstrem Demokrasi
Dari peristiwa itu, kata dia, menjadi pemikiran bersama terlebih warga negara Amerika yang punya keprihatinan dan berusaha mengembalikan demokrasi di jalur yang semestinya.
Dengan kekuatan Civil Society, kata Agus, demokrasi bisa diselamatkan melalui kaidah-kaidah demokrasi.
“Maka di sini kita melihat bagaimana pentingnya kita percaya pada demokrasi dan selalu berusaha apa yang kita lakukan tetap berada dalam rambu demokrasi,” kata Agus.
Baca juga: Gubernur Lemhanas Soroti Kecenderungan Semakin Pragmatisnya Parpol di Indonesia
Terkait pengalaman Myanmar, kata Agus, menyebutkan, betapapun alasan junta militer untuk mengatakan kekuasaan yang dimenangkan oleh Aung San Suu Kyi melalui pemilu yang dipilih oleh rakyat dengan sistem mereka tetap tidak sah, namun kudeta militer Myanmar menjadi kritik dunia.
Tidak terkecuali, kata Agus, kritik muncul dari negara-negara yang tadinya menjadi sandaran Myanmar yaitu Tiongkok.
“Kalaupun (Tiongkok) menggunakan Hak Veto di PBB, kalau ada perkembangan demokrasi, saya rasa itu bukan cerminan Tiongkok untuk menyetujui Junta, akan tetapi lebih menjaga manuver perimbangan tata global,” kata Agus.
Menurut Agus pengalaman tersebut menjadi catatan bagi negara manapun yakni meski dengan dalih untuk memperbaiki keadaan dan biasanya perubahan, peralihan atau pengambilalihan kekuasaan melalui kekuatan militer adalah dalih yang kurang memberikan hasil untuk menuju keadaan yang lebih baik.
Agus juga menegaskan sejarah menunjukkan itu tidak pernah terbukti.
Menurutnya apabila pengambilalihan secara paksa justru menghasilkan hasil yang kurang baik dan malah kembali pada garis nol.
“Ini perlu menjadi perhatian, jangan lagi ada yang berpikir untuk menggunakan militer untuk memperbaiki keadaan betapapun argumen kita ketidaksukaan pada situasi yang berlaku. Masalah politik hendaknya diselesaikan secara politik atau hukum, tanpa campur tangan militer," kata Agus.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.