Jaksa Agung Diminta Cabut Banding Putusan PTUN Soal Tragedi Semanggi
Jaksa Agung ST Burhanuddin diminta mencabut banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait tragedi Semanggi I dan II.
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa Agung ST Burhanuddin diminta mencabut banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta terkait Tragedi Semanggi I dan II.
PTUN Jakarta sebelumnya memutus tindakan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin yang menyatakan tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat sebagai perbuatan melawan hukum.
Hal itulah yang menjadi harapan Maria Katarina Sumarsih, ibu mendiang Bernadinus Realino Norma Irmawan alias Wawan korban pelanggaran HAM Semanggi I pada 1998.
Sumarsih menyebut, jika PTUN mengabulkan banding Jaksa Agung, maka Indonesia bukan lagi sebagai negara hukum.
"Kalau Jaksa Agung tetap melakukan banding kemudian PTUN Jakarta mengabulkan banding Jaksa Agung itu, Indonesia sudah bukan lagi negara hukum, Indonesia adalah negara impunitas," kata Sumarsih dalam IG live @kontras_update bertajuk 'Jaksa Agung Segera Cabut Banding', Selasa (16/2/2021).
Baca juga: Jaksa Agung Resmi Ajukan Banding Soal Vonis Bersalah Terkait Pernyataan Kasus Semanggi I-II
"Ketika Indonesia menjadi negara impunitas, otomatis akan kesulitan memutus kekerasan-kekerasan aparat yang menurut Komnas HAM ada dugaan pelanggaran HAM berat. Akhirnya akan menimbulka korban-korban baru," lanjutnya.
Sumarsih menegaskan, dirinya bersama para korban tragedi Semanggi lainnya akan terus menggelar aksi Kamisan, menuntut tanggung jawab negara dalam menuntaskan kasus HAM berat di Indonesia, termasui tragedi Semanggi.
"Kami akan bersama-sama dengan para pendamping kami, kepada LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dengan siapapun akan tetap melanjutkan kegiatan-kegiatan untuk mendesak agar kasus lasus oelanggaran ham berat ini diselesaikan sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku," ujarnya.
Lebih lanjut, Sumarsih mengatakan perjuangan membawa tragedi Semanggi ke pengadilan HAM ad hoc akan terus dilakukan.
Meski rasanya hal itu sulit tercapai, mengingat penegakkan terhadap tragedi pelanggaran HAM berat masa lalu hanya jadi jargon untuk merebut suara saat pemilu.
"Karena apa? saya pernah ikut diskusi di IG ada 2 orang anggota DPR yang mengatakan peta politk DPR itu berubah. Di DPR itu bukan wakil rakyat lagi tapi wakil partai politik. Ketika wakil partai politik ya tergantung DPP partai politiknya," pungkasnya.