Anggota DPR: Banyak Korban dari Pasal Multitafsir UU ITE, Ini Harus Direvisi
anggota DPR mendukung arahan Presiden Joko Widodo untuk merevisi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Penulis: Chaerul Umam
Editor: Sanusi
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fraksi PAN Farah Putri Nahlia mendukung arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk merevisi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jika tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Khususnya tentang pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa beda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak.
Sehingga, terkesan pasal karet dan multitafsir yang dapat menjadi alat pembungkaman kebebasan berpendapat di dunia maya.
Baca juga: Pengamat Sebut Ada 9 Pasal Karet UU ITE yang Perlu Dihapus atau Direvisi, Apa Saja?
"Namun perjalanannya banyak pihak-pihak yang menjadi korban dari beberapa pasal-pasal yang multi tafsir dalam UU ITE ini. Gara-gara orang menulis status di medsos yang dipandang ada unsur penghinaan maka orang tersebut dapat dijerat hukum. Tipis bedanya antara penghinaan dan kritik. Oleh karena itu pasal-pasal yang multifungsi ini harus direvisi," kata Farah melalui keterangannya, Rabu (17/2/2021).
Farah mengatakan, pada prinsipnya UU ITE ini lahir untuk melindungi dari kejahatan informasi dan transaksi elektronik.
Baca juga: Mardani Ali: UU ITE Sering Digunakan untuk Bungkam Suara yang Kritik Pemerintah
Di mana sebelumnya belum ada payung hukumnya.
Harus dipahami bahwa UU ITE ini lahir berbarengan dengan munculnya Revolusi Industri 4.0.
"Kemudian maraknya media sosial sebagai tanda dimulainya dunia baru di ruang maya yang belum ada hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu lahirnya UU ITE ini sangat diperlukan untuk melindungi segenap warga negara," ujarnya.
Farah mencontohkan, pada pasal 27 ayat 3 tentang defamasi (pencemaran nama baik), dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang mengkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.
Selain itu pada pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
"Jadi poin yang akan saya katakan adalah UU ITE ini dibuat jangan sampai menjadi alat bagi siapapun terutama negara untuk membungkam kebebasan berbicara dan berpendapat karena hal ini dilindungi oleh UU juga," ujarnya.
"Pun demikian interaksi dan pembicaraan di dunia maya mesti ada payung hukumnya, dengan harapan terbentukanya etika berkomunikasi antar warga negara. Sehingga diharapkan tidak ada salah satu yang dirugikan," pungkasnya.
Jokowi Minta Pasal Karet Direvisi, Kapolri Akui Penggunaan UU ITE Sudah Tidak Sehat