Eks Ketua KPK: Hukuman bagi Koruptor Bukan Mati, tapi Eksistensi Sosial Dimatikan
Mantan Ketua KPK Agus Rahardjo, menilai Indonesia dapat meniru Singapura dimana hukuman koruptor bukan mati, eksistensi sosialnya dimatikan.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyebut Indonesia dapat mencontoh negara Singapura dalam menghukum para pejabat koruptor.
Menurutnya, hukuman yang paling tepat bagi koruptor ialah mematikan eksistensi sosial mereka.
"Kalau saya, tepat apa yang dilakukan Singapura. Hukuman koruptor itu bukan mati, tapi eksistensi sosialnya dimatikan," kata Agus, dikutip dari diskusi virtual YouTube Medcom.id, Minggu (21/2/2021).
Eksistensi yang dimaksud, koruptor tak dapat menikmati fasilitas apapun setelah tertangkap, seperti dilarang memiliki rekening dan mendirikan usaha.
Lalu, harta kekayaan yang dimiliki koruptor juga dapat disita negara sampai habis.
Baca juga: Terlibat Narkoba, Enam Mantan Petugas Lapas di Riau Jalani Hukuman di Nusakambangan
Baca juga: Dugaan Korupsi Stadion Mandala Krida Yogyakarta, KPK Geledah Kantor PT Eka Madra Sentosa
"Jadi, dimiskinkan dulu. Harta yang dinikmati kemudian dirampas semua."
"Setelah dikembalikan kerugian negara, eksistensi berikutnya seperti bukan manusia lagi."
"Sampai punya rekening enggak boleh, punya usaha enggak boleh," terang mantan Ketua KPK itu.
Pernyatan Agus itu dikeluarkan dalam menanggapi statement Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej beberapa waktu lalu.
Dimana, Eddy mengatakan hukuman mati layak bagi koruptor, khususnya pada kasus dugaan suap Eks Menteri KKP Edhy Parbowo dan Eks Mensos Juliari P. Batubara.
Baca juga: Wamenkumham Nilai Pidana Mati Layak Bagi 2 Eks Menteri yang Korupsi, Ini Tanggapan Refly Harun
Baca juga: Setujui Edhy dan Juliari Dihukum Mati, Mantan Ketua KPK: Bisa Buat Orang Takut Korupsi
Selain itu, Agus menekankan, pemerintah perlu memperbaiki sistem yang ada untuk menutup celah korupsi.
Bukan hanya memikirkan persoalan hukuman apa yang setimpal.
"Perlu didukung terus untuk perbaikan sistem kita. Jadi banyak yang nyebut, sistem pendidikan."
"Sistem reformasi pegawai negeri, itu yang penting," pungkas Agus.