Apa Itu Delik Aduan? Begini Penjelasan dari Pengamat Hukum
Apa yang dimaksud delik aduan? Berikut penjelasan pengamat hukum sekaligus Direktu rLBH APIK Bali Ni Luh Putu Nilawati.
Penulis: Shella Latifa A
Editor: Daryono
TRIBUNNEWS.COM - Tindakan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) masih marak terjadi.
KDRT ini mecakup kekerasan yang dilakukan sesama anggota keluarga, hingga pekerja Asisten Rumah Tangga (ART).
Indonesia sendiri memiliki regulasi khusus untuk mengatur KDRT ini, yaitu UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Dalam UU itu, ada beberapa kekerasan yang dikategorikan sebagai delik aduan.
Yakni, kekerasan yang dilakukan seorang suami kepada istri atau sebaliknya.
Baca juga: Apa Itu Super Follow? Fitur Baru Twitter yang Memungkinkan User Pasang Tarif untuk Konten Eksklusif
Baca juga: Apa Itu Vaksinasi Mandiri atau Vaksinasi Gotong Royong? Begini Penjelasannya
Delik aduan ini, berbeda dengan delik pidana umum.
Apa yang dimaksud delik aduan?
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Bali, Ni Luh Putu Nilawati menerangkan penjelasan tentang delik aduan.
Menurutnya, delik aduan ini memperbolehkan sang pelapor untuk mencabut laporannya.
"Delik aduan itu, artinya apabila dalam proses pelaporan, si pengadu itu boleh mencabut laporannya.
"Dan tidak diteruskan proses hukumnya," jelas Nila pada program Kacamata Hukum Tribunnews, Senin (22/2/2021).
Baca juga: Pesan Kapolri kepada Kabareskrim: Jangan Sampai Hukum Tajam ke Bawah Tapi Tumpul ke Atas
Baca juga: Apa Itu Suhu? Berikut Pengertian, Alat Ukur Suhu hingga Perbedaan Suhu dan Kalor
Ia membenarkan, jika delik aduan ini khusus untuk KDRT yang dilakukan seorang suami kepada istri atau sebaliknya.
"Delik aduan ini dikhususkan apabila dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya," terang Wakil DPC Peradi Denpasar itu juga.
Nila juga menjelaskan, jika kasus terjadi antara orang tua dengan anaknya, bisa berlapis dengan UU yang berkaitan, seperti UU Perlindungan Anak.
Adapun untuk melaporkan KDRT ini, cukup dua alat bukti, yakni visum dan keterangan saksi korban.
Nila menjelaskan definisi dari bukti visum ini.
Baca juga: Terasa Nyeri dan Pegal Jadi Efek Samping Paling Umum Usai Disuntik Vaksin, Mengapa Bisa Terjadi?
Baca juga: Mengapa Kita Tetap Harus Menggunakan Masker Saat di Mobil Pribadi? Ini Penjelasan Satgas IDI
Menurutnya, ada perbedaan antara visum dengan surat keterangan sakit.
"Ibu-ibu yang menjadi korban KDRT, ia lebih dulu diantar keluarganya ke rumah sakit (RS)."
"Setelah mendapat pemeriksaan, mereka (korban,red) ambil sendiri hasil pemeriksaanya, tetapi tidak dilanjutkan dengan melapor polisi."
"Kemudian dengan diambil surat keterangan itu sendiri tidak bisa disebut dengan visum," terang Nila
Saat korban KDRT dilarikan ke rumah sakit, hendaknya langsung melapor ke polisi.
Sehingga, hasil pemeriksaan berbentuk surat keterangan sakit ini bisa menjadi bukti visum.
Baca juga: Ahli Hukum Sebut Tugas Sekretaris MA Hanya Urus Administrasi, Bukan Proses Peradilan
Baca juga: Apa Peran Operator Politikus PDIP Ihsan Yunus dalam Kasus Suap Bansos Covid-19?
"Seharusnya bagi korban KDRT, surat keterangan sakit jangan diambil dulu. Tetapi kita langsung melapor."
"Setelah mendapat tanda bukti lapor ini, polisi lah yang akan datang mengambil surat keterangan sakit."
"Dengan polisi yang ambil surat keterangan sakit, itu menjadi visum," kata Wakil Direktur DPC Peradi Denpasar itu.
Nila melihat ada saja fenomena, korban KDRT tak segera melapor ke polisi, malah membawa pulang surat keterangan sakit itu.
Lalu, selang beberapa hari, l baru korban ini melaporkan ke pihak kepolisian.
Hal itu nantinya, sang korban akan diminta melakukan pemeriksaan ulang.
Sebab, luka yang diderita korban sudah memudar, bahkan hilang. Akhirnya, laporan berujung dengan bukti kurang kuat.
(Tribunnews.com/Shella)