Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Ini 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Mandek, Komnas HAM Jelaskan Penyebabnya

Tiga kasus tersebut di antaranya peristiwa Timor Timur pasca jejak pendapat, Peristiwa Tanjung Priok, dan Perisitwa Abepura.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Hasanudin Aco
zoom-in Ini 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat yang Mandek, Komnas HAM Jelaskan Penyebabnya
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Komisioner Komnas HAM saat konferensi pers di Gedung Komnas HAM, Jakarta, Senin (28/12/2020). Konferensi pers ini memberikan keterangan perkembangan penyelidikan dan temuan di lapangan oleh Komnas HAM dalam peristiwa kematian 6 laskar FPI di Kerawang. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dari 15 berkas penyelidikan kasus pelanggaran HAM Berat yang telah diselesaikan Komnas HAM, hanya tiga yang proses penyelesaiannya telah sampai ke pengadilan. 

Tiga kasus tersebut di antaranya peristiwa Timor Timur pasca jejak pendapat, Peristiwa Tanjung Priok, dan Perisitwa Abepura.

Sementara itu, 12 kasus yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM sampai saat ini belum selesai dan masih mandek di Kejaksaan Agung. 

Dua belas persistiwa tersebut antara lain peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Trisakti-Semanggi I dan II 1998-1999, Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Wasior 2001-2002 Wamena-2003 (Papua), Pembunuhan Dukun Santet 1998, Peristiwa Simpang KAA (Aceh) 1999, Peristiwa Jambu Keupok (Aceh) 2003, Peristiwa Rumah Geudong (Aceh) 1989-1998, dan Paniai (Papua) 2014.

Baca juga: Mahfud MD Kenang Dialog dengan Artidjo Alkostar soal Alumni HMI yang Pernah Divonis Lebih Berat

Dalam paparannya, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menampilkan data Komnas HAM yang menunjukkan kondisi objektif 12 berkas perkara tersebut. 

Berikut ini datanya:

  • Peristiwa 1965-1966 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 21 Desember 2018.
  • Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 21 Desember 2018.
  • Peristiwa Talangsari 1989 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 21 Desember 2018.
  • Peristiwa Trisakti-Semanggi I dan II 1998-1999 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 21 Desember 2018.
  • Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 21 Desember 2018.
  • Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 21 Desember 2018.
  • Peristiwa Wasior 2001-2002 Wamena-2003 (Papua) terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 21 Desember 2018.
  • Pembunuhan Dukun Santet 1998 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 26 Desember 2019.
  • Peristiwa Simpang KAA (Aceh) 1999 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 27 Desember 2018.
  • Peristiwa Jambu Keupok (Aceh) 2003 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 8 Maret 2017.
  • Peristiwa Rumah Geudong (Aceh) 1989-1998 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 27 Desember 2018.
  • Peristiwa Paniai (Papua) 2014 terakhir diserahkan kembali ke Jaksa Agung pada 9 Oktober 2020.

Beka mengakui ada stangnansi atau kemandekan terhadap proses penyelesaian 12 kasus tersebut. 

Berita Rekomendasi

"Memang ada stagnansi penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat," kata Beka saat peluncuran buku berjudul "Merawat Ingatan Menjemput Keadilan: Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat" pada Senin (1/3/2021).

Ia menjelaskan, ada dua hal yang menyebabkan kemandekan tersebut. 

Pertama, kata Beka, adalah soal politik hukum penanganan kasus pelanggaran HAM yang Berat. 

Sampai saat ini, kata dia, HAM ditempatkan sebagai salah satu sub sistem dalam hukum.

Selain itu, pemberitaan yang ada lebih berfokus pada infrastruktur, investasi, pembangunan ekonomi, dan lain sebagainya. 

"Terhadap kasus yang terjadi sebelum tahun 2000 sebenernya DPR memiliki kewennagan untuk mengusulkan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Jaksa Agung RI," kata Beka. 

Kedua, kata dia, soal paradigma dalam teknis hukum pembuktian.

Komnas HAM, kata Beka, selaku penyelidik kesulitan melengkapi alat bukti yang diminta oleh Jaksa Agung sebagai penyidik.

Kesulitan terselebut, kata Beka, antara lain karena tidak memiliki kewenangan memaksa.

"Ini yang kemudian juga membuat bolak-balik antara Komnas HAM dan Jaksa Agung. Karena kemudian Jaksa Agung menilai bukti tidak lengkap maka kemudian enggan menaikan ke tahap penyidikan. Ini yang terjadi kenapa kemudian stagnan," kata Beka.  

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas