Desakan agar Moeldoko Mundur dari Istana Semakin Kuat, Dianggap Bawa Pengaruh Buruk bagi Presiden
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko didesak mundur dari Istana, ia dianggap membawa pengaruh buruk bagi Presiden.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Citra Agusta Putri Anastasia
TRIBUNNEWS.COM - Desakan agar Moeldoko mundur dari Istana semakin kuat setelah ia terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB Sumatera Utara.
Hal itu lantaran keberadaan Moeldoko yang menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) ini, berpotensi membawa pengaruh buruk bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Terlebih, atas keterlibatannya dalam pusaran kekisruhan di tubuh Demokrat, Moeldoko dianggap berpotensi mencemarkan nama Presiden.
Pengamat Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando, turut serta menyarankan agar Moeldoko mundur dari jabatannya sebagai KSP.
Baca juga: Sumpah Setia ke AHY, Bupati Lebak Iti Octavia Siap Kirim Santet Banten ke KSP Moeldoko
Ia menilai, kesediaannya menjadi Ketum Partai Demokrat versi KLB sulit dilepaskan dari persepsi kedekatannya dengan Joko Widodo.
Ade menganggap, hal tersebut bisa merugikan Presiden.
"Mengingat dia orang dekat Pak Jokowi dan jangan sampai ada tuduhan macam-macam, seperti KLB kemarin atas dasar perintah Pak Jokowi."
"Dan juga membersihkan reputasi Istana dari campur tangan dalam urusan internal Partai Demokrat, maka dia (Moeldoko) harus mundur."
"Saya rasa Pak Moeldoko cukup berbesar hati untuk meninggalkan Posisi KSP," ungkap Ade, dalam tayangan Kompas TV, Senin (8/3/2021).
Selain Ade Armando, Direktur Charta Politika, Yunarto Wijaya, juga menyarankan agar Moeldoko mundur dari jabatannya sebagai KSP.
Ia menilai, Moeldoko harus sadar, peran pejabat publik sebaiknya tidak rangkap jabatan.
Terlebih, merangkap di dalam kabinet akan terus dikaitkan dengan nama Jokowi.
"Eloknya malah anggota kabinet pun harusnya tidak boleh menjadi pengurus paartai."
Baca juga: Anwar Abbas Sarankan Moeldoko Belajar dari Megawati, Buat Partai Baru dan Bersaing di 2024
"Apalagi seorang kepala KSP yang menunjukkan wajah kepala pemerintahan atau kepala negara," ungkap Yunarto, masih dalam tayangan Kompas TV.