Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Komnas HAM Sayangkan Banding Jaksa Agung Atas Gugatan Keluarga Korban Semanggi Dikabulkan

Anam menilai substansi pembicaraan di Komisi III yang menjadi sumber perkara sudah diralat sendiri oleh Jaksa Agung.

Penulis: Gita Irawan
Editor: Sanusi
zoom-in Komnas HAM Sayangkan Banding Jaksa Agung Atas Gugatan Keluarga Korban Semanggi Dikabulkan
ist
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M Choirul Anam 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) M Choirul Anam menyayangkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta yang mengabulkan banding Jaksa Agung ST Burhanuddin atas gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II.

Anam mengatakan Putusan Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN) yang mengabulkan gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II memiliki semangat untuk membuat para pejabat publik berhati-hati dalam menyampaikan pendapatnya.

Baca juga: PT TUN Batalkan Putusan PTUN terkait Pernyataan Jaksa Agung soal Tragedi Semanggi

Hal itu, kata Anam, karena sikap atau pernyataan pejabat publik memiliki risiko dalam konteks penegakan hukum.

Hal itu disampaikan Anam di kantor Komnas HAM RI Menteng Jakarta Pusat pada Rabu (10/3/2021).

"Kami menyayangkan putusan dari PTTUN karena sebenarnya ghirah (semangat) dari proses tata usaha negara itu yang akhirnya diwujudkan oleh PTUN Jakarta sini itu adalah ghirah untuk meletakkan bahwa pejabat-pejabat publik itu berhati-hati bersikap karena riskonya tinggi khususnya dalam konteks penegakan hukum. Kalau dokumen hukumnya bicara A jangan ngomongnya A jangan dikasih konteks yang lain," kata Anam.

Baca juga: Jaksa Agung Diminta Cabut Banding Putusan PTUN Soal Tragedi Semanggi

Anam menilai substansi pembicaraan di Komisi III yang menjadi sumber perkara sudah diralat sendiri oleh Jaksa Agung.

Berita Rekomendasi

Kemudian, kata Anam, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga telah menjelaskan kepada Komnas HAM tidak ada satu pun kasus yang telah dinyatakan pelanggaran HAM dan kini berkasnya sudah masuk di Kejaksaan bukan pelanggaran HAM.

"Menurut saya ini pembelajaran yang baik di luar konteks menang dan kalah dan sebagainya. Semua pejabat negara ketika menyampaikan di ruang formal kayak begitu, tertib. Kalau statusnya A ya A jangan dibilang A, B, C, D. Itu yang menurut saya pelajaran paling penting untuk Jaksa Agung," kata Anam.

Diberitakan Kompas.com sebelumnya Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta membatalkan putusan PTUN Jakarta dalam perkara gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung.

PTUN Jakarta sebelumnya memutus pernyataan Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin terkait tragedi Semanggi I dan II sebagai perbuatan melawan hukum.

“Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 99/G/TF/2020/PTUN.JKT. tanggal 4 November 2020 yang dimohonkan banding,” demikian bunyi putusan yang diunduh dari situs PTTUN Jakarta, Senin (8/3/2021).

Perkara dengan nomor 12/B/TF/2021/PT.TUN.JKT tersebut dibacakan dalam sidang pada 2 Maret 2021.

Majelis hakim tinggi yang menyidangkan perkara ini terdiri dari, Sulistyo, Dani Elpah, dan Wenceslaus.

Dalam putusannya, majelis hakim tinggi menyatakan permohonan banding yang diajukan Jaksa Agung dapat diterima secara formal.

Sebab, permohonan banding diajukan dalam tenggang waktu yang telah ditentukan Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Maka dari itu, PTTUN Jakarta selanjutnya mempertimbangkan aspek material atau substansial dari putusan di tingkat pertama.

Majelis hakim PTTUN Jakarta pun berpandangan, PTUN Jakarta belum berwenang untuk memutus perkara gugatan yang diajukan oleh keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II tersebut.

Hal itu dikarenakan para advokat selaku penerima kuasa dari penggugat dinilai belum mengajukan upaya banding administratif.

Majelis hakim menilai, sejumlah surat terbuka yang dikirim penggugat dalam naungan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) kepada Presiden Joko Widodo tidak dikualifikasi sebagai upaya banding administratif.

Alasannya antara lain, substansi surat tidak terkait dengan tanggapan Kejagung atas keberatan administratif serta JSKK tidak diberi kuasa untuk mengajukan banding administratif.

Alasannya antara lain, substansi surat tidak terkait dengan tanggapan Kejagung atas keberatan administratif serta JSKK tidak diberi kuasa untuk mengajukan banding administratif.

“Maka sesungguhnya Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta belum berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa Nomor: 99/G/TF/2020/PTUN. JKT,” dikutip dari putusan tersebut.

“Sebagaimana ditentukan di dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif,” lanjutnya.

Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, PTTUN Jakarta menerima eksepsi pihak Jaksa Agung terkait poin yang menyebut gugatan penggugat prematur.

PTTUN Jakarta juga menyatakan gugatan keluarga korban tidak dapat diterima dan menghukum penggugat membayar biaya perkara di tingkat pertama dan banding.

Diketahui, gugatan terhadap Jaksa Agung dilayangkan oleh Maria Katarina Sumarsih, ibunda almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan; dan Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap Yun Hap.

Adapun Bernardinus Realino Norma Irmawan merupakan mahasiswa yang menjadi korban dalam peristiwa Semanggi I, 13 November 1998. Sedangkan Yap Yun Hap adalah mahasiswa UI yang meninggal saat peristiwa Semanggi II, 24 September 1999.

Gugatan itu menyangkut pernyataan Jaksa Agung yang mengatakan bahwa kasus Tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat.

PTUN Jakarta kemudian mengabulkan gugatan penggugat. Majelis hakim menyatakan pernyataan Jaksa Agung tersebut sebagai perbuatan melawan hukum.

Selain itu, Jaksa Agung diwajibkan membuat pernyataan terkait penanganan kasus Semanggi I dan II sesuai keadaan sebenarnya dalam rapat dengan Komisi III DPR berikutnya.

Terakhir, tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000.

Atas putusan tersebut, Jaksa Agung kemudian mengajukan banding.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas