BMKG: Akhir Maret Masuk Musim Kemarau, Waspadai Cuaca Ekstrem Pancaroba
Sebagian besar wilayah Indonesia sudah mulai memasuki peralihan musim dari hujan ke kemarau mulai akhir Maret 2021.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebagian besar wilayah Indonesia sudah mulai memasuki peralihan musim dari hujan ke kemarau mulai akhir Maret 2021.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) meminta masyarakat mewaspadai fenomena cuaca ekstrem saat peralihan musim.
"Salah satu ciri umum kejadian cuaca saat periode peralihan musim adalah adanya perubahan kondisi cuaca yang relatif lebih cepat, dimana pada pagi-siang umumnya cerah-berawan dengan kondisi panas cukup terik yang diikuti dengan pembentukan awan yang signifkan dan hujan intensitas tinggi dalam durasi singkat yang secara umum dapat terjadi pada periode siang-sore hari," ujar Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto dalam pernyataannya yang diterima Tribun, Kamis(11/3/2021).
Hasil analisis dinamika atmosfer-laut dari BMKG menunjukkan fenomena La Nina masih dapat berlangsung hingga Mei 2021 mendatang dengan intensitas lemah hingga normal.
Baca juga: Tiga Wilayah di Kabupaten Bantul Alami Hujan Es
Kondisi tersebut masih dapat berkontribusi pada peningkatan massa udara basah dan lembab di sekitar wilayah Indonesia.
Saat ini fenomena Monsun Asia masih cukup aktif yang mengakibatkan aliran massa udara dari wilayah Belahan Bumi Utara (BBU) masih dapat berkontribusi terhadap pembentukan awan hujan terutama di wilayah Indonesia bagian barat.
Monsun Asia mulai memasuki periode pelemahan pada akhir Maret 2021 yang mengindikasikan bahwa periode puncak musim hujan di sebagian wilayah Indonesia mulai berakhir.
Selama periode peralihan musim, ada beberapa fenomena cuaca ekstrem yang harus diwaspadai, yaitu hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat/petir dan angin kencang, puting beliung, waterspout dan hujan es.
Baca juga: Effendi Sianipar Minta Pemerintah Pusat dan Daerah Waspadai Datangnya Musim Kemarau
"Fenomena hujan es merupakan fenomena yang umum terjadi selama periode peralihan musim, hal tesebut dipicu oleh pola konvektifitas massa udara dalam skala lokal-regional yang lebih signifikan selama periode peralihan musim. Hujan es umumnya dapat terjadi dari sistem awan Cumulonimbus (Cb) yang menjulang tinggi dengan kondisi labilitas udara yang signifikan sehingga dapat membentuk kristal es di awan dengan ukuran yang cukup besar," ujar Guswanto.
Guswanto menjelaskan fenomena downdraft (aliran massa udara turun dalam sistem awan) yang terjadi di sistem awan Cb terutama pada saat fase matang dapat menyebabkan butiran es dengan ukuran yang cukup besar dalam sistem awan Cb tersebut turun ke dasar awan hingga keluar dari awan menjadi fenomena hujan es.
Kecepatan downdraft dari awan Cb tersebut cukup signifikan sehingga dapat mengakibatkan butiran es yang keluar dari awan tidak mencair secara cepat di udara, dan bahkan sampai jatuh ke permukaan bumi masih dalam bentuk butiran es yang dikenal dengan fenomena hujan es.
Baca juga: Puncak Kemarau di Lampung Diperkirakan Terjadi Agustus hingga September
Dalam sepekan ke depan, dinamika atmosfer yang diidentifikasi masih dapat berkontribusi cukup signifikan terhadap pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.
Hal itu dengan teramatinya sirkulasi siklonik di Samudera Pasifik Timur Filipina dan di Samudera Hindia sebelah selatan Bali-Nusa Tenggara yang dapat mengakibatkan terbentuknya pola konvergensi dan belokan angin sehingga dapat meningkatkan pembentukan awan hujan di sebagian wilayah Indonesia.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya fenomena gelombang Rossby Ekuatorial yang diprediksikan masih cukup aktif di sekitar wilayah Indonesia bagian barat, selain itu kondisi labilitas udara lokal yang signifikan juga dapat meningkatkan potensi konvektifitas dan pembentukan awan hujan di sebagian besar wilayah Indonesia.