Marak Kasus Korupsi Libatkan Pejabat Negara, Rizal Ramli Usul Dana Parpol Ditambah
Penambahan dana parpol dilandasi maraknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah.
Editor: Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurahman Wahid, Rizal Ramli mengusulkan adanya penambahan dana partai politik (Parpol).
Penambahan dana parpol dilandasi maraknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah.
"Modus operandinya selalu berhubungan dengan penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang pengadaan barang dan jabatan serta anggaran proyek," ujar Rizal di Jakarta, Kamis (11/3/2021).
Baca juga: Ketua KPK Singgung Pejabat yang Punya Piagam Penghargaan Antikorupsi Tapi Terlibat Korupsi
Menurut Rizal Ramli, penyebab KKN yang melibatkan pejabat adalah demokrasi kriminal.
Maksud dari demokrasi kriminal yaitu, untuk menjadi pimpinan, baik di tingkat nasional maupun daerah hingga menjadi anggota legislatif, seseorang harus menyiapkan biaya yang tidak sedikit untuk membeli "tiket" dari partai politik.
Apalagi, sambung Rizal Ramli, aturan soal treshold membuat bargaining semakin tinggi.
"Calon itu pun harus mencari cara guna mendapat "tiket"," ujar Rizal.
Satu di antara cara mendapat "tiket" yakni mencari sponsor dari pengusaha-pengusaha hitam yang mengharapkan bisnisnya bisa langgeng, dengan back-up dari pejabat yang dibiayai.
"Calon yang terpilih itu pastinya berhutang budi terhadap para sponsor yang membiayainya saat berkompetisi. Para pejabat yang terpilih itu juga memprioritaskan untuk mengembalikan modal politik yang sudah dikeluarkan ketimbang mengimplementasikan janji politiknya terhadap rakyat," kata Rizal Ramli.
Baca juga: KPK Konfrontir Gubernur Nurdin Abdullah dengan 2 Tersangka Suap Proyek di Sulsel
Berkaca pada kasus ini, Rizal mengusulkan adanya penambahan dana partai politik.
"Memang saat ini negara sudah membiayai partai politik namun dengan budget yang masih sangat kurang," kata dia.
"Karena itu, partai politik masih harus mencari penghasilan tambahan dengan membancak keuangan negara. Maka, tak heran jika para politisi di Indonesia seperti berlomba-lomba melakukan korupsi," katanya lagi.
Pembiayaan partai politik oleh negara, kata Rizal, dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, pendidikan, dan perekonomian masyarakat.
Selain itu, bisa dipastikan bahwa indeks kebahagian masyarakat akan lebih tinggi dibanding negara yang pembiayaan politiknya menganut sistem bandar.
"Hari ini, walaupun dibiayai sedikit oleh negara, anggaran yang ‘hilang’ di tingkat DPR, DPRD tingkat I dan II sangat besar. Tapi yang masuk kas partai hanya sebagian kecil, sisanya masuk kantong-kantong pribadi," ujar Rizal Ramli.
Baca juga: KPK Eksekusi Penyuap Rizal Djalil ke Lapas Tangerang
Sebenarnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga sudah memberi rekomendasi kepada pemerintah agar menambah budget untuk membiayai partai politik.
Dengan demikian, partai politik hanya fokus pada tugas dan fungsi partai.
Seperti melakukan kaderisasi dan rekrutmen politik sehingga bisa menghasilkan pemimpin, baik pada tingkat lokal maupun tingkat nasional yang benar-benar berkualitas.
"Supaya partai politik tidak perlu lagi mencari dana tambahan lain untuk membiayai partai politik," ujar dia.
Namun yang terjadi rekomendasi KPK itu tidak pernah diikuti secara serius.
"Karena itu, kita bisa menyaksikan terus aksi tangkap tangan KPK terhadap para politisi maupun para pejabat," katanya.
Sebagaimana diketahui, KPK mencatat sejak 2004 hingga 2020, terdapat 141 kepala daerah terdiri dari 122 bupati/wali kota dan 21 gubernur yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Sementara itu, berdasarkan data KPK tahun 2004, jumlah anggota legislatif yang dicokok sebanyak 274.
Berbagai modus korupsi yang dilakukan kepala daerah di antaranya terkait belanja daerah yang meliputi pengadaan barang dan jasa, pengelolaan kas daerah, hibah dan bantuan sosial (bansos), pengelolaan aset, hingga penempatan modal pemda di BUMD atau pihak ketiga.
Modus lainnya pada sektor penerimaan daerah mulai dari pajak dan retribusi daerah, pendapatan daerah dari pusat, serta korupsi di sektor perizinan mulai dari pemberian rekomendasi hingga penerbitan perizinan dan benturan kepentingan.
Selain itu, tidak sedikit juga yang terkait penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan, rotasi, mutasi, dan promosi ASN di lingkungan pemerintahannya