Isu Liar Presiden 3 Periode, Istana Pun Menolak Keras, tapi Bisakah Itu Dilakukan Tanpa Amendemen?
Pendiri Partai Ummat itu curiga, rezim Presiden Jokowi akan mendorong adanya sidang MPR untuk melakukan perubahan terhadap dua pasal.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Adalah Mantan Ketua MPR RI Amien Rais yang mengungkapkan kecurigaannya terkait adanya usaha dari pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menguasai semua lembaga tinggi negara.
Pendiri Partai Ummat itu curiga, rezim Presiden Jokowi akan mendorong adanya sidang MPR untuk melakukan perubahan terhadap dua pasal.
Satu di antara dua pasal itu, Amien mengatakan akan memberikan hak bagi presiden bisa dipilih tiga kali.
Baca juga: Ketua MPR Pastikan Tidak Ada Pembahasan Mengenai Masa Jabatan Presiden Tiga Periode
Pernyataan Amien sontak menjadi bola liar. Semua pihak, termasuk partai pendukung presiden bahkan pihak istana membantah seraya menolak wacana tersebut.
Namun, terlepas dari itu semua, bagaimana sebenarnya kemungkinan mengubah masa periode presiden berdasarkan aturan yang berlaku di negeri ini?
Baca juga: Arief Poyuono ke Amien Rais: Jabatan Presiden 3 Periode Itu Perlu
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra menyatakan perubahan masa jabatan presiden yang termaktub dalam UUD 1945 bisa terjadi tanpa dilangsungkannya amandemen.
Hal itu disampaikan Yusril menanggapi munculnya isu penambahan masa jabatan Presiden Joko Widodo menjadi tiga periode.
Adapun dalam Pasal 7 UUD 1945 disebutkan bahwa jabatan presiden dibatasi maksimal hanya dua periode.
"Perubahan UUD memang bisa terjadi melalui “konvensi ketatanegaran”. Teks sebuah pasal tidak berubah, tetapi praktiknya berbeda dengan apa yang diatur di dalam teks," kata Yusril lewat pesan singkat, Senin (15/3/2021).
"Contohnya adalah ketika sistem pemerintahan kita berubah dalam praktik dari sistem presidensial ke sistem parlementer pada bulan Oktober 1945. Perubahan itu dilakukan tanpa amendemen UUD, namun dalam praktiknya perubahan itu berjalan dan diterima oleh rakyat," tutur Yusril.
Kendati demikian Yusril mengatakan konvensi ketatanegaraan tersebut sulit dilakukan jika menyangkut perpanjangan masa jabatan presiden.
Menurut Yusril, faktor-faktor seperti rasa trauma terhadap langgengnya kekuasaan di tangan satu orang dan derasnya suara oposisi, baik di dalam badan perwakilan maupun di luarnya juga turut memengaruhi.
Apalagi di zaman kebebasan berekspressi dan kebebasan media sekarang ini, Yusril menilai penolakan perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode berdasarkan konvensi akan menghadapi tantangan yang cukup berat.
Jangan dilupakan juga, sekarang ada Mahkamah Konstitusi yang melalui proses uji materi, bisa menilai apakah tindakan penyelenggara negara konstitusional atau tidak," kata Yusril.