Profil Anton Medan, Pendakwah yang Sempat Jadi Preman Kelas Kakap, Ini Kisahnya soal Kehidupan Lapas
Simak profil dari Anton Medan, pendakwah yang sempat jadi preman kelas kakap paling ditakuti di era Soeharto.
Penulis: Inza Maliana
Editor: Gigih
TRIBUNNEWS.COM - Muhammad Ramdhan Effendi atau yang dikenal dengan Anton Medan dikabarkan meninggal dunia pada Senin (15/3/2021).
Pemuka agama keturunan Tionghoa ini dikabarkan tutup usia di kediamannya di Cibinong, Bogor, Jawa Barat pada Senin sore.
Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa (PITI), Ipong Hembiring Putra membenarkan kabar duka tersebut.
Menurut Ipong, Anton meninggal setelah berjuang melawan penyakit yang deritanya.
"Iya benar, karena stroke dan diabetes," ujar Ipong saat dikonfirmasi Kompas.com.
Anton diketahui meninggal dunia di usia 63 tahun.
Namun, hingga berita ini ditayangkan, informasi mengenai prosesi pemakaman Anton belum diketahui secara pasti.
Diketahui, Anton Medan sebelumnya pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Islam Tionghoa (PITI).
Kemudian, sebelum insaf dan menjadi mualaf, nama Anton erat kaitannya dengan dunia kriminal.
Bahkan, sosoknya sempat dikenal sebagai preman kelas kakap yang paling ditakuti di era Presiden Soeharto.
Lantas, bagaimana perjalanan Anton keluar dari dunia kejahatan hingga menjadi mualaf?
Baca juga: Sebelum Wafat, Anton Medan Telah Siapkan Liang Lahat Sendiri Untuk Pemakamannya, Ini Penampakannya
Baca juga: Sahabat Ungkap Penyebab Anton Medan Meninggal Dunia
Berikut Tribunnews.com rangkum dari berbagai sumber sosok dan rekam jejak Anton Medan:
Anton yang bernama asli Tan Hok Liang ini lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara pada 10 Oktober 1957.
Sosoknya dikenal sebagai perampok dan bandar judi yang sudah makan asam garam kehidupan di dalam penjara.
Mengutip dari Kompas.com, sepanjang hidupnya, Anton mengaku sudah 14 kali keluar masuk penjara.
Anton juga mengaku telah merasakan hidup dari balik jeruji besi sejak ia masih belia.
Ia mulai merasakan kehidupan di penjara saat usia 12 tahun karena kasus pembunuhan.
"Saya membunuh karena kepepet, barang-barang saya dirampas. Akhirnya saya nekat membunuh," ujar Anton pada 2013 lalu, dikutip dari Kompas.com.
Anton mengungkapkan, dirinya sempat merasakan pahitnya hidup di balik penjara.
Salah satunya, saat kerusuhan 1998, Anton ikut dituduh membakar rumah salah seorang pengusaha hingga ia dipenjara.
Menurutnya, ada perlakuan sewenang-wenang dari aparat penjaga tahanan di Mapolda Metro Jaya.
Ia mengaku, ada pula tahanan lain yang tak pernah diperiksa hingga tak jelas masa tahanannya.
Anton menegaskan, menjadi penjahat, bukanlah pilihan hidup.
Ia pun sempat berharap agar sistem hukum di Indonesia segera diperbaiki.
"Yang utama saat ini sistem hukum di Indonesia harus diperbaiki. Karena saya lihat hukum di Indonesia amburadul."
"Aparat penegak hukum mudah disuap. Mari kita doakan semoga mereka sadar," katanya.
Anton sendiri telah masuk Islam pada 1992 dan mendirikan rumah ibadah yang diberi nama Masjid Jami' Tan Hok Liang.
Masjid itu terletak di area Pondok Pesantren At-Ta'ibin, Pondok Rajeg, Cibinong, Jawa Barat.
Pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, Anton pun sempat mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pada 2020, Anton sempat muncul di depan publik saat sidang kasus video ikan asin yang melibatkan terdakwa Galih Ginanjar, Rey Utami dan Pablo Benua.
Kala itu, Anton menyebut kedatangannya untuk mendukung Pablo Benua sebagai sesama mualaf.
Anton mengaku miris dengan masalah hukum yang menimpa Pablo karena ia menilai masalah itu tidak harus masuk ke ranah pengadilan.
Sudah Siapkan Liang Lahat
Sebelumnya diketahui, Anton Medan ternyata sudah menyiapkan liang lahat untuk dirinya jika kelak meninggal.
Liang lahat yang disiapkan Anton berada di Pondok Pesantren At-Taibin di Kampung Bulak Rata RT 2/8, Kelurahan Pondok Rajeg, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Ponpes itu akan menjadi tempat peristirahatan terakhir pria yang kini menginjak usia 65 tahun.
Pria pemilik nama Tionghoa, Tan Kok Liong, sejak dulu bercita-cita membangun sebuah pondok pesantren bagi mualaf Tionghoa dan mantan narapidana yang ingin belajar agama.
Pada 2002 cita-citanya terwujud membangun sebuah pondok pesantren. Saat itu yang pertama kali dibangun oleh Anton yakni kuburan.
"Yang dibangun pertama Bapak (Anton Medan) kuburannya dulu, terus dilanjutin ngebangun pondok pesantren," kata Deni Chunk (41), pengurus Pondok Pesantren At-Taibin kepada TribunnewsBogor.com pada Juni 2017.
Lokasi yang nantinya menjadi tempat pemakanam Anton berada tepat di sebalah kanan Masjid Tan Kok Liong yang di desain dengan gaya bangunan Tionghoa.
Kuburan itu memiliki kedalaman sekitar 160 sentimeter dan panjang 2 meter yang saat ini dijadikan pendopo bagi tamu yang berkunjung ke pondok pesantren tersebut.
"Tadinya enggak ditutup meja, tapi takutnya bahaya akhirnya ditutup jadi lebih terlihat rapih," sambung Deni.
Selain pondok pesantren di lokasi tersebut yayasan mendirikan sekolah dengan sistem asrama. Dahulu yang tinggal di asrama sampai 500 orang.
Berdirinya Pondok Pesantren At-Taibin bermula ketika Anton Medan ingin menysiarkan Islam dengan membangun pesantren pada 2002 lalu.
"Cita-cita bapak ingin bangun pesantren untuk mualaf Tionghoa, makannya didirikan pondok pesantren ini. Pembangunan sekitar dua tahun, baru mulai beroperasi pada 2004," kata Deni.
Sekolah yang di dalamnya juga terdapat pondok pesantren bagi mantan narapidana dan mualaf Tionghoa ini berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektare.
Saat ini yayasan sudah tidak aktif lagi sejak beberapa tahun lalu. Yang masih tersisa hanya pondok pesantren bagi eks narapidana serta mualaf Tionghoa yang ingin belajar ilmu agama.
Setiap bulan ada saja eks narapidana yang datang untuk mondok di sini. Menjelang Ramadan para santri sudah banyak pulang ke kampung halaman masing-masing untuk ibadah puasa bersama keluarga.
"Emang enggak banyak, kalau bulan puasanya biasanya pada pulang," tukas dia.
Menurut Deni, santri mantan narapidana itu selain dibekali ilmu agama juga diajarkan berwirausaha selama berada di pondokan.
Seperti belajar mengelas, beternak hingga menjahit agar setelah mereka keluar sudah punya bekal keahlian untuk melanjutkan hidupnya dan tidak kembali terjerumus dalam dunia hitam.
"Mereka diajarin baca Alquran dan salat. Ada juga alumni yang sekarang sudah bisa membuka pondok pesantren sendiri di kampungnya," kata lelaki yang juga guru di ponpes tersebut.
Ada yang mencolok dari arsitektur bangunan di pondok pesantren Anton. Hampir semua artsitekturnya mendapat sentuhan khas Tiongkok.
Gaya khas bangunan Masjid Hok Tek Liong ini sengaja mengambil gaya bangunan Tiongkok sebagai ciri khas Anton yang memang keturunan Tionghoa.
Berita lainnya terkait Anton Medan
(Tribunnews.com/Maliana, TribunnewsBogor.com/Damanhuri, Kompas.com/Sabrina Asril/Yatimul Ainun/Dian Erika Nugraheny)